Thursday 16 June 2011

Tanya

Yeah... satu hari lagi sudah terlewati dalam perjalanan hidupku. Hari ini dimulai dengan kericuhan yang terjadi gara-gara pelepasan mahasiswa KKN. Kutulis kata "ricuh" karena acara ini membuat geger seluruh civitas akademik UGM. Pasalnya, karena acara ini, dengan sangat sukses, telah menghentikan jadwal UAS untuk hari Kamis dan diganti di lain waktu tergantung kebijakan fakultasnya. Beberapa fakultas keukeuh untuk tetap melaksanakan UAS pada hari itu juga. Beberapa fakultas ada juga yang manut dengan keputusan Pak Rektor kemudian mengganti UAS pada awal libur semester. Kalo aku? Bodo amat... hari ini memang aku gak ada ujian. Toh kalopun ada dan diganti pada awal libur, juga gak masalah... kan emang gak pulang ke rumah hehehe... Karena tidak ada yang dikhawatirkan, sebaiknya aku diem aja. manut. Plegmatis bangetlah. Sebegitu pentingkah acara itu? hmm... katanya penting karena yang akan melepas mahasiswa KKN adalah Pak Budiono, Wakil Presiden RI.

Penting gak penting buatku gak penting. Yang aku permasalahkan adalah ratusan pertanyaan yang menari-nari di benakku dan mengetuk-ngetuk pintu hatiku. Aku tanyakan dalam hati, kenapa sih harus disambit eh... disambut ding, dengan begitu amat? Kenapa harus pake tentara yang seabrek dan harus melewati mesin pendeteksi yang kayak di bandara itu? Hmm... sebegitu berbahayakah menjadi seorang pejabat? Tapi satu hal yang membuatku merinding hebat waktu pelepasan tadi, yaitu ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ya Tuhan... lagi-lagi sejuta pertanyaan bergelantungan di benakku. Aku anak Indonesia? Apa yang sudah aku perbuat untuk negara ini? Apakah aku mampu menjadi putri bangsa yang kelak akan berguna bagi bangsa ini? Apa tanganku ini bisa mengangkat dan menjunjung harga diri bangsa ini? Apakah aku mampu membalikkan lembaran keboborokan negeri ini ke lembar kemakmuran, makmur semakmur-makmurnya? Apakah negeriku ini tetap menjadi negeri seperti yang digambarkan dalam lirik-lirik lagu nasional kita? Tuhan... hanya padaMu, aku mengadu dan meminta...

Tapi satu hal yang kurang kusuka di acara itu yaitu saat penyerahan topi KKN secara simbolis. Saat itu salah satu yang maju adalah seorang mahasiswa berkebangsaan Malaysia. Ketika nama dan asal negara mahasiswa itu membahana di seantaro GSP, banyak sekali orang-orang yang bersorak-sorak mengejek, sepertinya. Mungkin, masih ingat pada masalah pengklaiman batik, Reog, wayang, atau Tari Pendet oleh Malaysia. Hmm... lagi-lagi. Pertanyaan berpendar-pendar mengelilingi kepalaku. Apakah itu sifat sebuah bangsa yang mempunyai slogan gemah ripah lok jinawi dan bhineka tunggal ika? Apakah itu sifat bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah? Menurutku, pengklaiman itu bukan sepenuhnya salah mereka. Kita juga salah karena kita sudah terbuai oleh semilir angin globalisasi yang menggoda. Dari segala sisi. Dari segala aspek kehidupan. Dari segala lini... Bukankah kita lebih bangga ketika berbicara cap cis cus Bahasa Inggris? Bukankah kita lebih bangga menghabiskan uang untuk makan di restoran cepat saji ala barat? Bukankah kita lebih bangga untuk menarikan modern dance ketimbang Tari Lilin atau Reog Ponorogo? Bukankah kita lebih bangga bernyanyi mendendangkan lagu-lagu asing? Sebenarnya tak ada yang salah dengan itu semua. Pandai berbahasa asing atau ahli dengan kesenian bangsa asing itu wajar dan bagus karena, tak kupungkiri, aku adalah seseorang yang tergila-gila untuk mempelajari dan mendalami bahasa-bahasa asing dan merasa bangga ketika menguasainya dan bercap cis cus dengan bahasa asing yang kukuasai. Akan tetapi... bukankah sebaiknya kita tetap ingat pada bangsa kita yang kaya ini? Mungkin kita harus seimbang, mengikuti arah angin globalisasi tetapi juga tak lupa memegang erat kebudayaan kita agar tak terbawa angin tersebut. Kalaulah boleh aku mendeskripsikan, kita ini bagaikan seorang yang tertidur lelap. Teramat lelap akibat semilir angin yang melenakan. Lalu, tiba-tiba terbangun dan marah karena disenggol seseorang. Mungkin bisa jadi begitu? Yah... ini hanya pendapatku saja. Semua orang bebas berpendapat bukan? Karena katanya ini adalah zaman reformasi. Zaman bebas mengungkapkan pendapat.

Akhirnya acara telah selesai. Saatnya balik ke kos. Pulang dan megerjakan pekerjaan lain. Tapi aku malas untuk mengerjakan apapun. Aku hanya menulis dan merenung. Tiba-tiba... pikiranku melayang ke masalah beasiswa. Tanpa sengaja, aku melihat surat keterangan tidak mampu dalam sebuah berkas permohonan beasiswa seorang temanku. Surat keterangan tidak mampu? Hatiku mulai bertanya-tanya. Lagi. Dan lagi. Surat keterangan tidak mampu itu berarti untuk orang yang tak mampu kan? Samakah dengan orang misikin? Definisi miskin itu adalah orang yang masih mampu tapi hidup pas-pasan kan? Batasan miskin itu bagaimana sih? Kenapa harus ada surat keterangan tidak mampu di berkas permohonan beasiswanya itu? Padahal... motor dia punya, handphonenya juga bagus. Laptop... juga dia punya. Apakah sekarang yang dimaksud dengan tidak mampu itu sudah naik satu peringkat? Apakah orang yang mengeluarkan uang untuk dana cicilan motor atau laptop tiap bulannya masih didefinisikan sebagai orang tidak mampu? Kalaulah barang-barang itu dibeli dengan uang hasil jerih payahnya sendiri, apa gak sebaiknya diberikan kepada orang tua untuk mengurangi beban orang tua? Ah... entahlah... aku pun tak tahu siapa yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku ini.

Sore hari. Aku merasa bosan. Teramat bosan. Aku berpikir untuk melakukan sesuatu. Jalan-jalan mungkin. Well... akhirnya, aku tunggangi si jago merahku dan terpikirlah untuk pergi ke masjid kampusku, sekalian shalat Ashar pikirku. Ketika hendak shalat beberapa mbak-mbak berkerudung panjang memperhatikanku. Mungkin mereka gerah melihat penampilanku yang acak kadut ini. Jilbab yang biasa aja, gak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek, celana gunung longgar, jaket cowok belang-belang, serta sendal jepit tanpa kaos kaki. Risih? iyalah, tapi kan masjid rumah Allah, siapa pun boleh bertamu bukan? Lagi. pertanyaan tercipta di benakku. Oh... Tuhan... apakah style pakaian seperti itu yang akan memasuki surgaMu? ataukah aku juga bisa masuk? Tapi aku yakin bahwa Kau adalah sang Maha Tahu dan hanya Kau yang tahu... aku hanya berusaha. Ikhtiar, begitulah istilah yang mereka gunakan.

Setelah melipat rukuh, aku turun dari tangga-tangga mesjid lalu menelusuri rerumputan dan akhirnya sampai di tempat parkir. Tiba-tiba mataku tertuju pada suatu pengumuman yang berisi tentang perencanaan pembangunan menara masjid setinggi 86 M, kalo gak salah. Lalu mataku tertuju ke arah maket menara yang terpajang di tengah lorong masjid. Di bawah maket itu, terletak sebuah box bening lumayan besar. Di dalam box itu, aku lihat berlembar-lembar uang kertas pecahan 20 ribu, 50, ribu, bahkan 100 ribu. Lagi-lagi pertanyaan tercipta di alam pikiranku. Untuk apa uang itu? Apakah uang itu dipakai untuk mengumpulkan sumbangan pembangungan menara? Oh... Tuhan... jangan sampai itu terjadi. Menara hanya menara. Menara hanya hiasan. Daripada mengumpulkan uang untuk mendirikan menara bak menara-menara di Kairo, apakah tak sebaiknya dipakai untuk membina kaum papa agar terhentas dari mental minta-minta? memberi pembinaan ketrampilan mungkin? Semoga ini hanya ketakutanku.

Masih banyak sebenarnya tanya yang berpendar, menari-nari, menyanyi-nyanyi mengelilingi pikiran ini tapi apalah daya... tangan tak kuasa lagi menulisnya...


0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang