Tuesday 29 January 2013

Perjalanan Singkat

Beberapa hari yang lalu, saya menyempatkan diri menjadi warga ibukota dan sekitarnya untuk sementara. Hal ini berhubung karena ada acara keluarga salah seorang kakak papa. Saya kesana dengan menggunakan bus yang bisa dibilang ngaret. Pasalnya, saya mendapat jadwal jika bus akan berangkat jam 15:30,. Tapi, kenyataannya, bus baru berangkat jam 17:15. Jadilah saya menunggu sampai kering di terminal itu. Untung saja tadi saya tidak lupa membawa sebuah novel untuk mengantisipasi hal seperti yang sudah lazim seperti ini. Dan akhirnya baru sampai Simpang Depok pada pukul 09:00. Bener-bener kain dari perjalanan-perjalanan saya sebelumnya karena biasanya sampai Simpang Depok pas subuh. Turun bus, saya langsung menyebrangi jalan dan naik angkot 06 sampai lampu merah Citayam. Kemudian dilanjutkan naik angkoy 05 sampai stasiun Citayam. Nyebrang stasiun dan naik ojek menuju rumah adik papa.

Sampai di rumah itu, saya langsung mandi, sarapan, dan pergi lagi menemani mama ke Sudirman dengan menggunakan angkutan umum sejuta umatnya warga ibukota yaitu kereta api. Saya berangkat jam 10:00 dari stasiun Citayam. Saat itu kereta sepi karena bukan jam pergi kerja atau jam pergi sekolah. Kereta itu nyaman sekali apalagi dilengkapi AC dan tempat duduk yang masih banyak kosong plus ada gerbong khusus wanita. Saya lalu duduk di sebuah pojokan dan mulai menghayal *halah. Saya berkata dalam hati semoga saya bisa naik berbagai macam kereta di berbagai negara. Mungkin saya nanti bisa naik Skytrain atau juga Metro dan yang lain-lain itu. Hehehe. Sampai di ibukota, saya makin stres melihat pemandangan yang ada. Biasanya di Jogja saya jarang melihat kemacetan yang super parah, di ibukota ini sebaliknya. Dimana-mana macet *Please jangan salahkan Si Komo. Kalau boleh bilang, saya salut sama orang-orang yang hidup di ibukota ini. Mereka bisa melalui ini semua dengan tabah. Two thumb up!

Setelah urusan selesai, saya dan mama pulang ke Citayam lagi-lagi dengan kereta api *saya sampai hapal nama stasiun-stasiunnya. Pulang sore dengan kereta berarti harus siap dengan resiko yang ada. Apalagi kalo bukan berdesak-desakkan di dalam Commuter line alias kereta itu. Dan sialnya, saya tidak masuk gerbong khusus wanita. Dan jadilah saya seperti ikan sarden yang di-press penumpang lain yang terus menerus masuk ke dalam setiap kereta berhenti di stasiun. Di sini saya salut lagi dengan warga ibukota yang selalu sabar dan kuat menghadapi situasi seperti ini setiap hari. Beda dengan saya yang tidak pernah bermimpi untuk kerja dan tinggal di ibukota. Gara-gara setiap hari naik kereta, saya seperti berasa berada dalam film Bangkok Traffic Love Story. Hadeuh jadi ngayal seandainya saya bertemu jodoh di commuter line atau di salah stasiunnya *halah.

Setelah dua hari di sana, akhirnya saya pulang ke Jogja. Kali ini saya pulang dengan pesawat. Tapi untuk menuju ke bandara Soekarno Hatta tetap saja saya harus naik kereta lagi. Kali ini turun di stasiun Juanda dan mutar balik ke stasiun Gambir. Dari stasiun Juanda ke Gambir, saya naik bajai. Di tengah-tengah perjalanan, saya melihat tulisan 'made in India' di stang si bajai. Seketika itu saya menghayal lagi; hari ini saya naik bajai di ibukota. Kelak saya akan naik bajai di India. Haha. Setelah sampai di Gambir, Saya dan mama masuk ke salah satu bus Damri yang terparkir. Di dalam bus itu, Saya ketiduran dengan sukses. Bangun-bangun sudah sampai di depan terminal 1B. Setelah mengurus tiket, akhirnya saya berpisah dengan mama. Mama pulang ke Padang dan saya kembali ke Jogja. Tidak berapa lama setelah check in, pengumuman boarding untuk penerbangan saya tiba-tiba menggema. Saya langsung ikut mengantre sambil mendengarkan lagu one day more dari mp3 handphone saya. Sampai jumpa lagi, Ibukota!!!! *nyengir senang karena meninggalkan ibukota.

Penerbangan kali ini seperti penerbangan 6 tahun lalu. Cuaca di atas sana tidak bersahabat awan terlihat gelap. Beberapa kali pesawat berguncang hebat. Mbak-mbak di seberang tempat duduk saya langsung terbangun dari tidur lelapnya sambil memegang sandaran kursi di depannya. Saya juga takut. Tapi, tiba-tiba ingat kata tokoh Pak Habibie di film Habibie dan Ainun. Katanya, kalau ada guncangan berarti pesawat itu bagus. Saya berusaha cool dan lanjut membaca novel. Akhirnya sampai di Yogyakarta tercinta. Welcome! welcome! Saya kembali ke kos saya dengan menggunakan motor matic si Jago Merah tercinta. Ngomong-ngomong, perjalanan kali ini, saya tidak menceritakan tempat yang saya singgahi ya? Mungkin karena saya lebih tertarik dengan berbagai macam transportasi yang saya tumpangi itu. Ada sensasi tersendiri rupanya. Apalagi saat naik si Commuter Line itu. Hehehe

Monday 28 January 2013

Les MIserables Movie: On My Own

Film Les Miserables ini diangkat dari sebuah novel berjudul sama yang ditulis oleh Victor Hugo. Tahu nggak dia siapa? Kalau yang kuliah di Sastra, pasti tahu. Dia itu adalah seorang sastrawan Prancis. Sebenarnya novel ini sudah difilmkan di tahun 1998, tapi di tahun 2012, film ini dirilis lagi dengan gaya musikal. Saya menonton film ini tanpa sengaja gara-gara dapat poin nonton gratis. Awalnya, saya sempat ngantuk menonton film ini karena dari awal adegannya pake acara nyanyi semua. Lagi disiksa, nyanyi. Lagi nangis nyanyi, Lagi marah, nyanyi juga. *Ngalah-ngalahin film India. Agak ke tengah, penonton banyak yang meninggalkan ruangan. Namun, saya dan teman-teman membetahkan diri di sana. Hitung-hitung latihan nonton opera dadakan di studio XXI sebelum nonton opera beneran di Palais Garnier *halah. Lama-lama, saya menikmati filmnya karena film ini punya kesan tersendiri bagi saya. Dan yang suka dengan ilmu Sejarah, bisa juga nonton film ini karena latar waktunya diambil saat revolusi Prancis. 

Semua lagu yang mengisi sepanjang film ini ternyatabagus-bagus. Salah satu yang paling saya sukai, selain lagu One More Day, adalah lagu yang berjudul On My Own. Kalau dengar lagu ini, aduh! Rasanya nyesek banget. Lagu ini masih tentang cinta bertepuk sebelah tangan. Asli! Kisah cinta yang seperti itu bikin nyesek Hehehehe. Anyway, nikmati saja lantunan lagunya, sambil mengenang kocaknya masa lalu gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan.


Thursday 24 January 2013

Pilihan


Aku mungkin berbeda dengan kebanyakan perempuan di muka bumi. Biasanya, saat mereka bosan dan banyak pikiran, mereka akan pergi berbelanja berbagai macam pakaian dan aksesoris. Namun, aku tidak sama. Saat banyak pikiran seperti saat ini, aku lebih senang pergi ke toko buku. Entah itu membeli buku atau hanya sekedar membaca sinopsis cerita dan endorsement yang tertera di cover belakang buku. Setelah puas mengelilingi rak-rak raksasa yang berjajar rapi di dalam toko, aku melangkahkan kaki naik ke lantai dua yang difungsikan sebagai sebuah café. Tempat itu sangat nyaman dan tenang. Cocok sekali untuk orang-orang yang ingin menyendiri dan tak ingin diganggu. Dan hari ini, aku benar-benar tak ingin diganggu. Inilah tempat pelarianku.

Setelah memesan secangkir cappuccino hangat, aku duduk di sebuah sudut café. Dari sana, aku dapat melihat lantai bawah yang dipenuhi dengan rak-rak raksasa dan jajaran banner yang bertuliskan daftar buku-buku new entry ataupun best seller dari berbagai macam penerbit lokal maupun nasional. Hari ini, pengunjung toko buku ramai sekali karena ada diskon buku besar-besaran. Untungnya toko buku tidak seperti distro atau toko pakaian yang sedang diskon besar-besaran juga. Walau toko buku itu sedang mengadakan diskon besar-besaran, para pengunjung yang datang tidak “ganas” seperti pengunjung distro atau toko pakaian diskon. Para pengunjung tampak tetap tenang dan tak satu pun dari mereka yang berebutan barang seperti di toko pakaian. Aku tersenyum sendiri mencoba melupakan masalah yang memenuhi benakku. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku melirik cincin perak bermata satu yang melingkar di jari manisku. Dan mau tak mau, pikiranku kembali ke masalah itu. Ralat, lebih tepatnya bukan masalah, melainkan pilihan yang memusingkan untuk seorang perempuan yang akan melepas masa lajangnya.

Beberapa bulan kedepan, aku akan melepas masa lajangku. Aku tidak lagi berstatus wanita single. Aku akan menikah. Namun, pernikahan bukan hanya perkara menjadi raja dan ratu sehari yang dimanjakan dan dielu-elukan. Pernikahan itu bukan hanya pengikat antara diriku dan suami semata. Pernikahan itu juga bukan urusan menghalalkan nafsu belaka. Pernikahan itu adalah ikatan yang menghubungkan dua belah pihak keluarga. Pernikahan bukanlah akhir dari kehidupan layaknya dongeng masa kecil yang kebanyakan kisahnya menceritakan tokoh putri dan pangeran yang pada akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya. Banyak sekali yang kelak akan terjadi setelah pernikahan. Memang penuh kebahagian, namun tak jarang juga banyak cobaan, halangan, dan rintangan. Dan salah satu yang menjadi sebuah dilemma setiap perempuan mungkin adalah pilihan yang akan mereka hadapi setelah mereka berumah tangga. Mau terus berkarir atau hanya mengurus rumah tangga saja? Dan inilah yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku.

Aku ---bisa dibilang--- adalah seorang business woman yang bergerak dalam bidang kuliner. Aku merintis usaha yang kujalani ini dari nol. Usahaku ini layaknya anak kandung yang kulahirkan dan kurawat dengan baik sehingga ia menjadi besar dan maju. Gerai kulinerku telah tersebar di beberapa kota di Indonesia. Di saat usahaku sedang menanjak tinggi, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki. Tanpa proses penjajakan yang terlalu lama, kami memutuskan untuk menikah. Dua minggu lalu kami bertunangan dan beberapa bulan kedepan, kami akan menikah. Dan sampailah aku pada titik dilemma. Ini karena aku adalah tipe yang selalu memikirkan kemungkinan dan resiko yang akan terjadi. Maka jadilah aku pusing tujuh keliling memikirkan pilihan. Mengurus rumah tangga atau berkarir?

“Ini Cappucino hangatnya, Mbak. Silahkan dinikmati,” Suara pramusaji café membuyarkanku dari lamunan. Setelah pramusaji itu beranjak dari mejaku, aku memasukkan sedikit gula dan mengaduk-aduk cappuccino hangatku itu. Dan kali ini aku termenung lagi sambil memandangi pusaran cairan cappuccino yang terbentuk akibat adukan sendok. Aku ingin bercerita, namun tak tahu harus bercerita pada siapa. Setiap orang punya pendapat masing-masing. Sania, teman kuliahku yang kini menjabat sebagai seorang manager di sebuah hotel, memilih tetap berkarir walau dirinya menikah dan punya anak.

“Zaman makin maju, Fa. Kebutuhan keluarga juga semakin meningkat. Kebutuhan anaklah. Belum lagi kebutuhan kita pribadi. Jujur aja, aku sih nggak bisa hidup tanpa make up, aksesoris, dan fashion. Mana cukup kalau cuma mengandalkan penghasilan suami. Lagian sekarang playgroup dan jasa pengasuh anak juga sudah banyak bertebaran. Tinggal angkat telepon aja,” Ujar Sania lugas dan tanpa basa-basi.

Saat itu, aku hanya diam mendengarkan Sania berbicara panjang lebar tentang pilihan hidup yang diambilnya setelah menikah dan mempunyai satu anak. Kepalaku mengangguk setiap ia memintaku membenarkan argumennya, namun hatiku tidak. Aku ingin kelak aku tetap berkarir tanpa harus mengabaikan suami apalagi anak. Karena sehebat apapun perempuan di lingkungannya, ya tetap saja ia harus mengutamakan rumah tangganya.

Aku menghela nafas sebentar lalu menyeruput cappuccino hangatku sedikit demi sedikit. Aku tak ingin seperti Sania, namun aku tak ingin juga seperti Sasih. Sasih itu teman SMPku dulu di kampung. Setelah tamat SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya. Katanya perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena perempuan sejatinya akan kembali mengurus rumah tangga.

“Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika di sana tidak diajarkan bagaimana cara mengurus rumah tangga. Itu kata bapakku, Fa,” Aku juga hanya mampu terdiam mendengar ucapan Sasih. Ini salah! Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam hak pendidikan. Malah perempuan seharusnya mendapatkan pendidikan yang terbaik karena perempuan akan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya kelak. Tak peduli apa pilihan mereka nanti. Mereka ingin berkarirkah atau mengurus rumah tangga?  Perempuan harus pintar apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini.

Aku teguk lagi cappuccino hangat yang kini telah dingin ditiup angin dari hujan di luar sana. Dari cerita Sasih, kemudian pikiranku melayang ke pengalaman teman baikku Ratih. Beberapa hari setelah acara tunanganku, aku mengunjungi Ratih yang baru saja melahirkan. Karena kami jarang sekali bertemu, maka kami mengobrol sepuas-puasnya. Untung saja Si Kecil tertidur pulas di dalam ranjangnya sehingga obrolan kami semakin seru dan asyik.

“Aku mengundurkan diri dari kantor, Fa. Aku ingin fokus mengurus suami dan anak. Percuma kan, kalo karir melejit, tapi rumah tangga bobrok? Nanti kalau kamu sudah menikah dengan Mas Bayu-mu itu, lepaskan saja perusahaanmu ke adik-adikmu. Mereka kan juga sudah lama kerja denganmu, Fa. Fokus saja mengurus rumah tangga sepertiku,”

Aku tersenyum getir mengingat perkataan Ratih. Apakah tidak bisa menjalani kedua-duanya? Inilah aku. Si Idealis. Saat ini yang kubutuhkan bukan pendapat lagi. Toh terkadang kita tidak harus mengikuti pendapat orang lain kan? Cukup dengarkan apa kata mereka dan pilihlah mana yang baik dan yang buruknya lalu simpulkan dan pilihan akhir ada di tangan kita. Just Follow your heart! Kini, yang kubutuhkan hanya orang yang mendukungku. Sebenarnya aku sudah memilih, namun aku butuh seseorang yang selalu mendukung pilihanku. Dan kumau, orang itu adalah calon suamiku, Mas Bayu...

“Mas Bayu?” Aku terkaget melihat sosok Bayu Bahari Utara yang telah duduk manis di hadapanku. Mungkin ini yang dinamakan belahan jiwa. Satu memanggil dan yang satu lagi datang menghampiri. Satu lemah dan yang satu lagi datang menguatkan Ah! Entahlah.

“Kenapa? Masih memikirkan masalah itu, Fa?”

Aku hanya mengangguk perlahan tak bergairah. Ia menatapku dalam dan menggenggam jemariku. Kehangatan jemarinya terasa menghangatkan jiwaku.

            “Meninggalkan karir dan fokus dalam rumah tangga adalah pilihan yang sangat tepat. Namun, tetap berkarir dan tetap telaten mengurus rumah tangga adalah sebuah tantangan. Apapun yang kau pilih, kau harus ingat bahwa aku selalu mendukung pilihanmu,”
            “Saat ini, aku memilih pilihan kedua, Mas,”
            “I knew it. Aku sudah menebaknya. Kau memang perempuan yang suka dengan tantangan. That’s a reason why I fall in love with you,” Kata-katanya membuatku tersipu malu.

            “Namun, bagaimana jika aku gagal?” Tanyaku mulai ragu. Bagaimanapun mengurus rumah tangga itu berbeda dengan mengurus perusahaan. Perusahaan hanya kutangani dari pagi sampai sore saja, sedangkan rumah tangga harus kutangani di setiap detak jantung dan setiap hembusan nafasku.

            “Kau masih punya aku, Fa. Toh, seharusnya rumah tangga itu diurus oleh kedua belah pihak kan? Hanya mindset dan ego saja yang menciptakan peraturan baru bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga sepenuhnya. Kau tidak sendirian, Fa. Ada aku di sampingmu saat ini dan selamanya. Promise,

Apapun pilihanmu, belajarlah setinggi-tingginya. Karena kau adalah calon ibu

Saturday 19 January 2013

Dalam Diam Papa

Saat mendengar kata "Papa", yang kuingat adalah sosok lelaki pendiam tanpa banyak kata. Namun terlihat jelas bahwa di balik diamnya, ia berkata bahwa ia mencintai dan menyayangi kita sepenuh hatinya. Diam-diam, ia memperhatikan dan mengamati segala tingkah laku kita, segala sesuatu yang kita sukai, bahkan segala sesuatu yang kita benci. 

Dalam diamnya, ia selalu berdoa agar setiap langkah anak gadis tercintanya selalu dilindungi Yang Maha Kuasa. Dalam diamnya, ia mengkhawatirkan putri kecilnya yang telah beranjak dewasa lalu pergi merantau untuk sekedar menuntut ilmu. Dalam diamnya, terbersit sedikit rasa cemburu saat anak gadisnya mulai masuk ke dalam sebuah ikatan cinta. Dalam diamnya, ia menangis dan berusaha rela melepaskan putrinya kepada seorang pemuda. Dalam diamnya, ia meletakkan kepercayaan pada pemuda itu untuk menjaga putri kecilnya yang telah dewasa. Dalam diamnya, sungguh tersirat beribu-ribu CINTA.

Papa, aku tak pernah melihatmu menangis sekalipun. Akankah kau menumpahkan air mata dari perasaan terpendammnu saat kau ucapkan ijab pernikahan putri tersayangmu ini? Papa, diammu adalah CINTA yang selalu kurasakan frekuensi dan intensitasnya. Papa, semoga Tuhan senantiasa memberikanmu kebahagian di dunia dan juga di akhirat kelak. 


Tuesday 15 January 2013

Simply Writing

Ngomong-ngomong tentang menulis, semua orang pasti punya gaya menulis sendiri-sendiri even orang itu nggak pernah mem-publish tulisan-tulisannya menjadi sebuah buku. Sepengatahuan saya, ada sebagian orang yang menulis dengan menggunakan kata-kata yang tidak umum dan bahkan tidak diketahui artinya oleh orang-orang awam. Gaya tulisan seperti ini, biasanya banyak digunakan dalam karya ilmiah seperti skripsi, walau terkadang beberapa novel juga menggunakan gaya penulisan seperti ini. Bagi orang awam, membaca gaya penulisan ini pasti sangat membosankan. Baru baca depannya aja udah males untuk melanjutkan lagi. Namun, sebagian lagi ada sih yang tertarik dan penasaran sehingga mau bersusah payah mencari artinya. Gaya penulisan seperti ini menurut saya pribadi mungkin untuk menunjukkan bahwa penulis sangat expert di dalam pengetahuan tentang bidang yang ditulisnya itu.

Kalau gaya penulisan saya, mungkin lebih simple dan sederhana. Pendapat ini saya simpulkan dari beberapa teman yang membaca skripsi saya. Saya sih setuju saja. Endeed I love simply writing. Ini semata-mata karena saya ingin semua orang, yang awam dengan bidang yang saya tulis, dapat mengerti apa yang ingin saya sampaikan tanpa menggunakan istilah-istilah yang terlalu susah. Ya itulah saya, hanya ingin berbagi apa yang saya ketahui. Semoga jika ada kesempatan untuk menulis thesis, saya bisa berbagi lagi dengan gaya simply writing saya. I just wanna show you that I'am in love with Arabic language and it's literature. Dan saya ingin menujukkan how interesting Arabic kepada semua orang bahkan orang yang awam tentang Keusastraan Arab sekalipun. Semoga kesempatan itu terbuka lebar untuk saya dan untuk teman-teman para science's oasis seeker.

Saturday 12 January 2013

Secarik Masa Lalu

Delapan tahun tampaknya merubah seluruh tatanan kampus ini dengan signifikan, kecuali gerbang depan kampus yang menjadi favoritku. Dari tempat itu, gunung Merapi terlihat sejajar dengan gedung auditorium kampus. Jika beruntung, kita bisa melihat gunung itu berwarna biru diselumuti awan yang mengelilinginya. Sore itu, gunung Merapi terlihat megah berdiri kokoh di belakang auditorium kampus. Guratan awan putih berbaris mengelilingi merapi membuatnya seakan sedang mengucapkan selamat sore kepadaku.
            “Udah lama sampainya?”
Tanpa kusadari, Erland telah duduk manis di sebelahku. Ia menyodorkan satu cup jus pisang ke hadapanku. Aku mengambilnya ragu-ragu. Delapan tahun boleh saja telah berlalu, namun kenangan tentang segala sesuatu yang kusukai masih diingatnya. Bukannya senang karena dia masih mengingat semua hal yang kusukai, aku malah kesal setengah mati. Dulu di saat aku mengharapkan cintanya, ia malah pergi menghilang tanpa kabar. Dan kini, di saat luka yang ditorehkannya di hatiku sudah sembuh, tiba-tiba ia datang lagi mengisi kehidupanku. Dan saat ini, aku sudah punya seorang Arun yang mencintaiku dengan tulus dan pastinya tidak pernah memberikanku harapan palsu.
“Ada apa lagi, Land?”
“Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku bahagia bertemu denganmu lagi,”
“Terima kasih,”
“Dari dulu hingga sekarang, tak ada yang berubah. Aku masih mencintaimu, Vanti…,”
“….”
Kata-kata yang diucapkannya benar-benar membuatku marah. Jika memang ia mencintaiku, kenapa ia meninggalkanku tanpa kepastian? Dan kini di saat aku melupakannya dan menemukan cinta baru yang menjanjikan hal yang pasti, ia kembali datang tanpa rasa bersalah di hati.
“Kau bilang kau mencintaiku dari dulu hingga kini? Lantas mengapa kau tinggalkan aku pergi tanpa sebuah kepastian, Land?” Aku memuntahkan tumpukan morfem yang sudah teramat lama kupendam dalam pikiran.
“Karena… aku…,”

---Bersambung---

Friday 11 January 2013

Busy January

Tahun baru, kesibukan baru. Kembali seperti semula. Aku mengisi hari-hariku lagi dengan berbagai kesibukan. Walau aku pecinta kamar dan nggak suka jalan-jalan, tapi aku nggak betah juga kalau nggak mengerjakan apapun. Dan Januari 2013 ini, aku mulai lagi. Alhamdulillah, nggak nganggur-nganggur amat setelah tamat. Sekarang aku menyibukkan diri mengurus lapak sweet corn bersama anak-anak Parapluie. Dan ini adalah pekerjaan yang paling berat menurutku. Waktuku banyak tersita di sini. Kadang, aku harus mengalah dan mengesampingkan egoku plus harus bersabar. Tapi, itulah jalan menuju kesuksesan. Penuh halangan dan rintangan, tapi selalu berakhir dengan manis. Aku percaya Tuhan selalu memperhatikan hamba-Nya yang berusaha keras. 

Selain mengurus lapak, aku juga mengajar privat. Itung-itung ngumpulin duit buat bayar kosan tahun depan biar pengeluaran orang tua lumayan berkurang. Kali ini, aku ngajar seorang anak keturunan Tiong Hoa. Namanya Kalvin. Anaknya rajin dan juga pintar. Jadi, nggak terlalu susah untuk mengajarinya walau dia juga sedikit usil. Yah... namanya juga anak-anak. Hehehehehe. Aku juga senang karena Kalvin dan keluarganya tidak keberatan jika aku memulai mengajar privat setelah shalat magrib. Senangnya mereka bisa pengertian seperti itu. Tidak seperti cerita-cerita yang pernah kudengar.

Saat ini pun les bahasa Inggris pun aku jejali. Jadilah aku sibuk setiap hari. Rasa-rasanya tiap hari aku lari marathon. Pagi sampai sore jaga lapak, terus les bahasa Inggris, terus ngajar privat. Tapi ada sedihnya juga sih karena waktu menulis jadi tersita. Baru mau mulai nulis, eh udah keburu ngantuk. Padahal menulis itu adalah obat mujarab penghilang stresku. Semoga weekend---yang sengaja kubuat menjadi hari libur nasionalku--- bisa aku pergunakan untuk menulis. Semangatku harus terus berkobar, menyala-nyala, menari-nari, berwarna-warni, dan meletup-letup bak kembang api di malam tahun baru lalu.


Monday 7 January 2013

Jogja, Buku, Korean Wave

Saya memang jatuh cinta pada kota kecil ini. Kota ini unik dan khas. Banyak sekali alasan mengapa saya sangat menyukai kota ini. Alasan pertama dan tak dipungkiri lagi bahwa kota ini adalah kota budaya atau kota seni tempat dimana para seniman bebas berekspresi. Lihat saja di jalan Malioboro sana! Dari grup musik tradisional sampai grup tari "ngamen" di pinggiran jalan sepanjang Malioboro sampai nol kilometer kota, bahkan di alun-alunnya juga. Mereka mengekspresikan jiwa mereka tanpa jadi bahan ketawaan orang-orang yang berlalu lalang. Orang-orang yang melihat mereka kebanyakan malah antusias dan mengapresiasi mereka. Kalau di kota asal saya, mungkin para seniman itu sudah diteriaki "orang gila" kali ya. Alasan lain, mungkin di kota ini adalah kota tempat dimana pertama kali saya jatuh cinta, sakit menahan perasaan, dan sakit ditinggal tanpa kepastian. Tapi itu hanya cerita lalu yang cukup dikenang dan ditertawakan. Hadeuh jika dipikir-pikir, kok bisa ya saya suka sama orang itu?? Alasan selanjutnya, masyarakat di sini sangat menghormati mahasiswa atau mantan mahasiswa yang memutuskan untuk menjadi seorang wirausaha. Hal ini bertentangan sekali dengan masyarakat di daerah asal saya. Lantas tidak salahkan kalau saya mencintai kota ini?


Satu lagi yang saya sukai dari kota ini; Kota ini adalah surganya para pecinta buku. Kalau di daerah asal saya, hanya ada satu toko buku. Itu pun bukunya mahal-mahal dan toko bukunya tidak se-cozy di sini. Kalau di kota ini, Banyak sekali tersedia toko buku murah. Kualitas bagus alias bukan buku bajakan, harganya juga terjangkau. Toko bukunya pun ditata se-cozy mungkin untuk membuat para pengunjung nyaman dan merasa seperti sedang di rumah sendiri. Tapi, ada yang sangat saya sayangkan dari produk buku akhir-akhir ini. Dunia perbukuan Indonesia tampaknya juga dilanda Korean Wave. Dimana-mana buku tentang boyband atau girlband Korea bertaburan. Okeh! Untuk yang satu ini saya masih bisa menerima. Tapi, parahnya buku-buku novel sekarang banyak banget yang Korea-korean dan terkesan "maksa". Kayaknya hampir di seluruh display toko buku banyak banget novel-novel dengan cover berbau Korea-korean plus huruf Hangeul-nya ---yang sekali lagi terkesan "maksa" itu. Korean Wave---dan wave-wave yang lain--- boleh saja melanda Indonesia, tapi jangan melanda perbukuan Indonesia juga. Kalau Korean Wave melanda musik, film, dan fashion masyarakat kita, ya sudahlah diikhlaskan saja, karena kebanyakan masyarakat memang lebih banyak menyukai musik, film, dan fashion ketimbang buku. Jadi, jika buku juga ketularan Korean Wave, lantas apa yang tersisa? Benar-benar miris melihat fenomena ini. Bukannya saya anti sama sesuatu yang berbau-bau Korea, ---yang saat ini sedang mewabah di masyarakat---. Saya juga punya buku yang berbau kesusastraan Korea dan saya juga menyukai buku Summer in Seoul-nya Ilana Tan karena isinya bagus, cover-nya nggak "maksa", dan pastinya terbit sebelum Korean Wave melanda. Menuru saya, kita boleh saja suka ---hitung-hitung mengapresiasi budaya negara tetangga---, asal jangan latah sehingga mengakibatkan semua lini kehidupan ini berganti dengan fenomena Korean Wave.
 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang