Monday 7 January 2013

Jogja, Buku, Korean Wave

Saya memang jatuh cinta pada kota kecil ini. Kota ini unik dan khas. Banyak sekali alasan mengapa saya sangat menyukai kota ini. Alasan pertama dan tak dipungkiri lagi bahwa kota ini adalah kota budaya atau kota seni tempat dimana para seniman bebas berekspresi. Lihat saja di jalan Malioboro sana! Dari grup musik tradisional sampai grup tari "ngamen" di pinggiran jalan sepanjang Malioboro sampai nol kilometer kota, bahkan di alun-alunnya juga. Mereka mengekspresikan jiwa mereka tanpa jadi bahan ketawaan orang-orang yang berlalu lalang. Orang-orang yang melihat mereka kebanyakan malah antusias dan mengapresiasi mereka. Kalau di kota asal saya, mungkin para seniman itu sudah diteriaki "orang gila" kali ya. Alasan lain, mungkin di kota ini adalah kota tempat dimana pertama kali saya jatuh cinta, sakit menahan perasaan, dan sakit ditinggal tanpa kepastian. Tapi itu hanya cerita lalu yang cukup dikenang dan ditertawakan. Hadeuh jika dipikir-pikir, kok bisa ya saya suka sama orang itu?? Alasan selanjutnya, masyarakat di sini sangat menghormati mahasiswa atau mantan mahasiswa yang memutuskan untuk menjadi seorang wirausaha. Hal ini bertentangan sekali dengan masyarakat di daerah asal saya. Lantas tidak salahkan kalau saya mencintai kota ini?


Satu lagi yang saya sukai dari kota ini; Kota ini adalah surganya para pecinta buku. Kalau di daerah asal saya, hanya ada satu toko buku. Itu pun bukunya mahal-mahal dan toko bukunya tidak se-cozy di sini. Kalau di kota ini, Banyak sekali tersedia toko buku murah. Kualitas bagus alias bukan buku bajakan, harganya juga terjangkau. Toko bukunya pun ditata se-cozy mungkin untuk membuat para pengunjung nyaman dan merasa seperti sedang di rumah sendiri. Tapi, ada yang sangat saya sayangkan dari produk buku akhir-akhir ini. Dunia perbukuan Indonesia tampaknya juga dilanda Korean Wave. Dimana-mana buku tentang boyband atau girlband Korea bertaburan. Okeh! Untuk yang satu ini saya masih bisa menerima. Tapi, parahnya buku-buku novel sekarang banyak banget yang Korea-korean dan terkesan "maksa". Kayaknya hampir di seluruh display toko buku banyak banget novel-novel dengan cover berbau Korea-korean plus huruf Hangeul-nya ---yang sekali lagi terkesan "maksa" itu. Korean Wave---dan wave-wave yang lain--- boleh saja melanda Indonesia, tapi jangan melanda perbukuan Indonesia juga. Kalau Korean Wave melanda musik, film, dan fashion masyarakat kita, ya sudahlah diikhlaskan saja, karena kebanyakan masyarakat memang lebih banyak menyukai musik, film, dan fashion ketimbang buku. Jadi, jika buku juga ketularan Korean Wave, lantas apa yang tersisa? Benar-benar miris melihat fenomena ini. Bukannya saya anti sama sesuatu yang berbau-bau Korea, ---yang saat ini sedang mewabah di masyarakat---. Saya juga punya buku yang berbau kesusastraan Korea dan saya juga menyukai buku Summer in Seoul-nya Ilana Tan karena isinya bagus, cover-nya nggak "maksa", dan pastinya terbit sebelum Korean Wave melanda. Menuru saya, kita boleh saja suka ---hitung-hitung mengapresiasi budaya negara tetangga---, asal jangan latah sehingga mengakibatkan semua lini kehidupan ini berganti dengan fenomena Korean Wave.

4 komentar:

  1. one day... sangat ingin ke sana..
    Salam kenal dr Ambon Manise... :)

    ReplyDelete
  2. salam kenal juga dari jogja. Jogja emang istimewa hehe

    ReplyDelete
  3. Jogja itu emang Istimewa Uni,
    KOta yang ramah dan Nyaman :)


    Miris memang ngeliat INDONESIA yang kena demam Korea. Semua di paksa jadi "Korea" sama kapitalis yang cuma cari untung.

    ReplyDelete
  4. Dan aku mati kebosanan ndengerin lagu korea yang berdendang dimana-mana
    #curhat

    ReplyDelete

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang