Monday 31 March 2014

Bahebak Mot


Sudah lama ternyata tidak "kepo" sama musik Arab hingga akhrinya menemukan Mahebak Moot Yuri Mrakadi. Walau kali ini Yuri nyanyi dengan bahasa Arab amiyyah, tapi tetap saja berkesan. Mungkin karena Yuri terlihat charming dan sexy di video klip yang satu ini. Jadi, posting bulan Maret 2014 ini ditutup dengan Mahebak Mot dari Yuri Mrakadi.





بحبك موت
وآه نفسى أقولك على جوايا
ولو تعرف هتبقى يا عمرى ويايا
وياما حلمت يبقى لبعدنا نهايه
بحبك موت
وأنا ليه بعدك مدوبنى
ولو إيه من قال كده تسيبنى
وحرام دا الشوق معذبنى
وكلامى كله عليك
لياليك هي الى بقيالى
ولا فى بعدك حبيب غالى
وياريت لو يوم تقولهالى
جايلك وحاسس بيك
بحبك .. بحبك
بحبك موت

English Translation:

i love you to death 
and ah i wanna tell you about what's inside me
and if you know, my life, you will be with me
and how much i dreamt of our separation being at an end
why does your distance make me melt
and if someone says, you leave me like this
and shame on this longing, you torture me
and all my words are about you
your nights are the ones that remain for me
I swear, with your distance my precious love
and my wish - if someday you tell me this
i come to you and feel you
i love you to death
i love you to death, 
this night with your closeness you are my whole world
and if you think you will come and say this is enough
there is no one but you, you're my soul's love and my love
i love you to death

Karena sedang ketagihan nerjemahin puisi Nizar Qabbaniy, saya tidak sempat menerjemahkan lagu ini. Walhasil mengandalkan arabiclyrics.net saja. Selamat menikmati bagi yang menikmati musik Arab....

Monday 24 March 2014

Sesal

Mataku tiba-tiba saja silau akibat cahaya matahari pagi yang tanpa malu-malu menerobos celah tirai jendela. Kukumpulkan nyawa mencoba membuka mata dan melirik jam weker di meja samping ranjang.
"Astaga! Sudah jam 6 pagi!" gumamku dalam hati.
Segera saja aku beranjak mematikan televisi yang begadang semalaman menontonku tidur lalu menuju kamar mandi. Sudah seminggu hidupku carut-marut macam ini karena mengerjakan disain rumah elit seorang klien. Jadilah aku bangun tidak pada waktunya, shalat juga demikian. Belum lagi kamarku yang seperti kapal pecah. Kertas-kertas, alat tulis, dan kulit kacang bertebaran di atas lantai kamar.

Setelah shalat, entah disebut shalat Subuh atau shalat Duha, aku memunguti benda-benda yang berserakan di atas lantai serta mulai membersihkan kamar ala kadarnya. Beberapa saat kemudian, perhatianku beralih pada rak buku di pojok kamar. Buku-buku di rak itu tampak kumal dan lusuh akibat debu yang makin menebal. Refleks tanganku mengambil sebuah buku tebal dengan hard cover bergambar Masjid Biru Turki lalu duduk dipinggir ranjang dan membuka halaman pertama buku membaca sebaris nama seseorang dan beberapa baris kalimat yang tertulis. Aku tersenyum sendiri. Anganku melayang ke sebuah kota yang penuh dengan kenangan itu.
"Hmmm...." 

Amira. Ami. Ya itu namanya. Gadis hitam manis dengan rambut ikal sebahu yang selalu dikuncir ekor kuda. Gadis bermata indah berbinar. Gadis yang memiliki senyuman paling manis selain senyum ibu. Gadis yang selalu ceria, menyenangkan, dan.... Dan ehm, membuat hari-hariku penuh warna. Ah! mengingatnya kembali sama dengan membangkitkan satu rasa sesal yang telah terkubur lama. Harus kuakui aku menyesal tidak jujur dengan perasaanku sendiri. Aku menyesal tidak berani mengungkapkan perasaanku hingga waktu dan jarak memisahkan kami selamanya.
”Kringgg!!!” 
Ponselku berdering. Lamunanku buyar. Kuraih benda hitam yang tergelatak pasrah di atas meja samping ranjang. Dan aku baru ingat bahwa hari ini ada rapat di kantor. Aku bergegas mandi dan meninggalkan operasi semut yang belum sampai 25 persen aku kerjakan.
***

Aku terduduk sambil memikirkan kembali hasil rapat pagi ini. Aku diserahi tanggung jawab untuk meng-handle sebuah proyek di Kendari. Sebenarnya aku sangat bangga mendapat kepercayaan besar ini, tetapi di sisi lain, aku risau jika tanpa sengaja bertemu dengan Mas Dewa, kakakku. Who knows? Iya kan? Beberapa tahun yang lalu, terjadi perseteruan hebat di antara kami perseteruan yang tidak logis bagi sebagian orang. Perseteruan cinta.

Aku melangkah gontai keluar dari ruangan tersebut.
"Hey Bro! Kok lemes banget? Harusnya Lo seneng dapet kepercayaan dari Pak Arman. Kalau Gua yang dapet proyek itu, sekalian deh gua pulang kampung gratis. Oh ya! Nih buat Lo. Pokoknya harus hadir," Kata Toni sambil menyerahkan selembar undangan berwarna biru muda.
"Thanks... Gua usahakan datang kalau kerjaan yang di Kendari kelar tepat waktu,"
***
Aku menapaki kaki di Bandara Wolter Monginsidi Kendari. Ketika keluar dari arrival gate, aku melihat seorang bapak paruh baya membawa sebuah papan bertuliskan namaku.
" Permisi. apakah Bapak yang diminta Pak Mazi untuk menjemput saya?
Bapak setengah baya itu mengangguk seraya berkata,
"Iya. Betul ji. Sa dikasih suruh untuk menjemput Bapak. Kenalkan. Nama saya Pak Musa.
Aku tersenyum mendengar logatnya yang asing di telingaku. "Panggil saja Aryan, Pak. Sekarang kemana dulu tujuan kita, Pak?
"Sa kasih antar saja ke hotel. Istirahat terlebih dahulu. Nanti malam Pak Mazi insyaAllah akan datang,"
Pak Musa membimbingku menuju mobil yang terparkir di area parkir bandara. Tak lupa aku meminta Pak Musa membuka jendela mobil agar aku dapat mengamati pemandangan kota.
***
Semua pekerjaanku akhirnya beres lebih cepat dari yang kuperkirakan. Hanya tinggal menghadiri beberapa meeting lagi. Masih ada waktu beberapa hari lagi untuk menunggu jadwal kepulanganku. Kuputuskan saja menggunakan waktu yang tersisa untuk berkeliling kota Kendari tanpa ditemani Pak Musa. Tampaknya lebih seru dan menantang menjadi ’bolang’ daripada ditemani pemandu wisata. Beberapa kali aku turun naik pete-pete tanpa tujuan pasti hingga akhirnya terdampar di sebuah toko besar di bilangan Wua-wua. Tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki yang sepertinya kukenal. Semakin dekat semakin jelas bahwa dia adalah Mas Dewa. Ketakutanku akhirnya menjadi kenyataan. Buru-buru kulangkahkan kaki menuju pintu keluar. Saat aku menarik gagang pintu, seorang perempuan juga sedang menarik gagang pintu juga dari arah luar. Terjadilah tarik-menarik gagang pintu hingga perempuan itu mengalah dan melepaskan pegangannya.
"Kak Aryan?"
"Ami. Amira?" 

Kuperhatikanparas itu. Ami masih tetap sama. Tidak banyak yang berubah kecuali rambutnya yang kini dibiarkan tergerai bebas. Tak ada rasa kikuk di antara kami untuk memulai obrolan meski sudah bertahun-tahun lamanya terpisah jarak, ruang, bahkan waktu. Ami tersenyum geli mendengarkan cerita yang melatari tragedi tarik-menarik gagang pintu barusan.
"Kak Aryan... Kak Aryan. Dari dulu sampai sekarang sama saja. Gengsinya masih tinggi setinggi Burj Khalifah. Apologizing does not always means that you're wrong and the other person is right. It just means... you value your relationship more than your ego,"
Aku termangu.
"Hmm. You're right! Thanks a lot!"
***
Sore itu, aku berjalan beriringan dengan Ami menyusuri dermaga Kendari Beach. Rasanya ringan dan lega. Pekerjaan kantor beres begitu juga dengan masalah Mas Dewa.
"Mi, besok saya akan kembali ke pulau seberang. Apa boleh saya berbicara jujur?
"Bicara apa kak? Serius sekali tampaknya," timpal Ami santai.
"Sebenarnya sejak dulu, saya sayang... Mi. Maksud saya... saya suka kamu... maksud saya... saya mencintai kamu," Kataku tergagap.
Ami diam sesaat lalu menghembuskan nafas seraya berkata,
"Saat itu... saya mencintai seseorang. Seseorang yang sudah saya anggap sahabat karib bahkan kakak kandung. Namun, saya tidak punya keberanian untuk mengungkapkan apa yang saya rasa. Saya hanya menunggu dan berharap dia punya rasa yang sama hingga akhirnya penantian saya sia-sia. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa dia tidak memiliki rasa yang sama dengan yang saya rasakan. Dan hari ini, saya mendengarkan pengakuan bahwa dia punya rasa yang sama.
"Jadi, masikah ada harapan dan kesempatan untuk memulainya sekarang?"
"Terima kasih telah mencintai saya. Namun semua telah tertinggal jauh di masa lalu dan cukup menjadi kenangan. Semua telah berubah. Termasuk rasa. Kini, saya telah menemukan cinta lain yang telah menjanjikan masa depan. Maafkan saya,"
***
Sebulan telah berlalu, namun pertemuan kembali dengan Ami masih terekam dalam memori. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang sebagai penutup kisah. Mungkin masa lalu tidak akan pernah bisa untuk dilupakan dan tidak perlu dilupakan. Yeah!  You may not be able to forget but you have to move on. Seiring berjalannya waktu, aku akan menemukan cinta baru. Sama seperti Ami. Cinta yang akan kutawari masa depan yang mungkin masih jauh dari kata sempurna karena memang tidak ada yang sempurna. Ini adalah pelajaran buatku bahkan buat Ami juga. It's hurts to love someone and not be loved. But, what is painful is to never have the courage to let that person know how you feel.

"Hey! Bengong aja. Kita udah sampai nih. Sampai kapan mau bengong dalam mobil? Yang lain udah pada turun," Suara Razsya mengusikku. Bergegas aku turn dari mobil dan membuntut di belakang teman-teman kantor yang berjalan masuk ke dalam gedung resepsi. Setelah menyerahkan kado dan mengisi buku tamu, kami segera menuju pelaminan untuk bersalaman dan memberikan selamat. Beberapa teman bahkan sempat menoyor kepala Toni. Saat tiba giliranku menyalami mempelai wanitanya, aku terkejut begitu juga sang mempelai yang tak lain adalah Ami.
"Ami? Toni? Toni... dan Ami?"
Tuhan! Skenario apalagi yang Kau berikan padaku? Aku berusaha tetap tenang walau jantungku berdetak dua kali lipat lebih kencang. Untung saja tak ada satu pun di antara mereka menyadari 'sesuatu' yang terjadi di antaraku dan sang mempelai wanita berbaju putih itu. Rupanya... the most painful thing in the world is to know that someone you love got married with your working partner!

#Harta karun (baca: cerpen ini)  ditulis tanggal 6 Juni 2010 dan baru ditemukan tadi malam. Ngikik sendiri bacanya. Deuh. Alay!










Saturday 22 March 2014

Sepotong Syair Qabbaniy

قصص الهوي قد أفسدتك 
فكلها غيبوبة و خرافة و خيال
الحب ليس رواية شرقية بختامها يتزوج الأبطال
لكنه الإبحار دون سفينة

Sesungguhnya kisah percintaan itu merusakmu
Semuanya  hanyalah legenda, mitos, dan khayalan
Cinta bukanlah bak novel timur  yang pada bagian akhirnya para pahlawan menikah
Namun sesungguhnya cinta bak para pelaut tanpa kapal… 



Friday 21 March 2014

Guru Mengaji

Selalu saja ada kesan yang tertinggal dari sosok seorang guru. Selain Ustad Budi, salah satu yang berkesan adalah guru mengaji saat SD dulu. Sejatinya, semua guru di sana baik, halus, dan tentu saja pintar. Namun yang paling berkesan adalah Pak Pun Ardi. Kami biasanya memanggil beliau Pak Pun. Dulu, Pak Pun adalah guru mengaji yang paling muda di antara yang lainnya. Ya jelas saja. Itu karena Pak Pun masih berstatus mahasiswa. Beliau orangnya lucu dan menyenangkan. Banyak sekali kami yang akrab dengan beliau. Jika hari Ahad, jadwal maraton masal tiba, saya bersemangat sekali untuk ikut serta. Biasanya, kami pergi ke pantai dan Pak Pun pasti ikut. Beliau tentu saja bercerita seru sekali. Jadi, namanya bukan maraton, melainkan jalan santai sambil ngborol. Terkadang, saya dan teman-teman suka jahil pada beliau. Beberapa kali kami minta dibelikan es krim Paddle Pop. Saat sudah dewasa dan merasakan jadi mahasiswa yang harus berhemat, saya jadi menyesal 'malak' beliau. Ntah kapan, saya tidak ingat, tiba-tiba saja beliau tidak mengajar kami lagi. Dan kami tidak pernah bertemu lagi hingga akhir tahun lalu.

Satu pagi yang diguyur hujan, Pak Pun dan Pak (ah! Saya lupa) datang bertamu ke rumah saya. Tunggu! Tunggu! Ini bukan karena saya adalah murid durhaka karena malah guru saya yang bertandang ke rumah. Ceritanya, beliau berdua dulu dekat dengan almarhum kakek saya. Jadi, pagi itu beliau berdua bersilaturahim ke rumah untuk bertemu dengan nenek dan ibu saya. Kebetulan, saya sedang di rumah. Jadi kami sempat bertemu. Pertemuan kembali setelah bertahun tahun lamanya. Sekarang Pak Pun bukan guru mengaji lagi, namun seorang anggota DPRD kota kami. Tak banyak yang berubah. Pak Pun tetap Pak Pun kami yang dulu. Penampilannya tetap sederhana dan bersahaja. Yang paling menyenangkan, beliau masih tetap mengenali saya dan mengenali nama teman-teman mengaji dulu. Saya hanya berharap semoga Pak Pun tetap menjadi Pak Pun kami yang dulu. Pak Pun yang baik, sederhana, dan bersahaja. Semoga saja beliau dapat menjadi wakil rakyat yang benar-benar merakyat dan membela kepentingan rakyat. Amiin.

Tampaknya saya senang sekali membicarakan atau menulis tentang guru-guru saya. Bahkan skrispsi saya, selain dipersembahkan untuk orang tua, juga saya persembahkan sebagai penghormatan kepada para guru. Khususnya guru-guru yang telah berjasa membagi ilmu mereka pada saya. Guru-guru yang bersabar atas kenakalan dan kebodohan saya. Saya masih mengingat kalimat Imam Syafi'i yang diajarkan oleh guru saya di pondok. Bahwasannya salah satu syarat agar kita mendapatkan ilmu adalah dengan menghormati guru. 


Artinya kira-kira begini: Wahai Saudaraku, Kau tidak akan pernah mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara sebagai mana yang saya aku jelaskan: kecerdasan, tamak akan ilmu (semangat), bersungguh-sungguh, bekal yang cukup, menghormati guru, dan waktu yang panjang.

Saturday 15 March 2014

Warna-Warni

Setiap orang pasti punya mimpi untuk mengunjungi suatu tempat. Kalau saya, ingin sekali ke negeri Taj Mahal. Ini bukan karena saya ingin bertemu dengan SRK karena saya bukan penggemarnya. Kenapa India? Kenapa tidak kota-kota indah di Eropa? Kalau dilihat-lihat, India memang kumuh, sumpek, polusi suara, dan berantakan. Tambah lagi tingkat kriminalitas yang tinggi dan watak masyarakatnya yang kasar. Tapi, saya meyakini segala sesuatu memiliki sisi positif dan negatifnya (kecuali ilmu hitam). Di sisi lain, India adalah negara dengan daratan luas yang terbelah menjadi bagian utara dan selatan. Punya banyak bahasa dan ragam budaya. Pemandangannya juga indah persis seperti Indonesia. Mungkin yang beda adalah bahwa India merupakan peradabaan tertua lagi masyhur seperti halnya China, Arab, atau Persia. 

Sebagai penyuka bahasa, saya tertarik dengan bahasa Hindi karena beberapa kosa kata yang mirip dengan kosa kata bahasa Arab. Contoh saja arti dari kata 'senapan'. Dalam bahasa Arab senapan adalah bunduuq, sedangkan dalam bahasa Hindi menjadi Banduq. Contoh lain kata 'intidzar' yang berarti menunggu. Dalam bahasa Hindi kata tersebut menjadi Intezar. Dan banyak sekali contoh yang lainnya. Begitu pula dengan kesusastraannya yang terpengaruh dengan kesusastraan Arab seperti yang Haywood jelaskan di dalam bukunya Modern Arabic Literature.


Tapi yang bikin saya teratrik lagi adalah warna-warni festival atau perayaan di India. Saya suka sekali dengan warna-warni. Rasanya ceria, ramai, dan elegan. Penuh warna dan penuh cahaya yang berwarna-warni pula. Nyanyiannya sangat merdu. Musiknya bisa menyayat hati namun kadang membangkitkan semangat. Tariannya indah dan tentu saja warna-warni. Begitu pula dengan kostumnya yang warna-warni dan bagus. Saya suka dengan warna-warni. Karena warna-warni itu seperti hidup kita. Penuh warna. Kadang biru, kadang kuning, kadang merah muda, kadang putih, kadang hitam, kadang merah, dan malah kadang abu-abu.

Sekian,,,

Friday 14 March 2014

Review The Arabic Song(s) I Love The Most




















Duh kangen sama mata kuliah Komposisi Arab dan Terjemah. Semoga tahun ini bisa melanjutkan ke strata dua dan bertemu lagi dengan The Amazing Arabic. Now! Let's sing a song!!!

Wednesday 12 March 2014

Hidupmu Indah

Saya sebenarnya adalah pendengar yang (lumayan) baik. Namun adalakalanya rasa jengkel merasuk ke hati saat lawan bicara mengatakan jika hidupnya selalu susah dan tidak menyenangkan. Tidak seperti saya. Mereka bilang kalau saya adalah orang yang beruntung dan selalu bahagia. Apapun yang saya inginkan pasti akan saya dapatkan. Mereka menyangka hidup saya mulus macam kulit personel Grirl Band Korea.

Saya hanya bisa tersenyum saja sambil berujar dalam hati. Siapa bilang hidup saya mulus? Hidup saya sama rumitnya dengan mereka. Banyak sekali cita-cita yang belum terwujudkan. Banyak sekali kegagalan yang datang. Kalau hidup saya seberuntung dan sebahagia yang mereka pikirikan, mungkin, dulu saat saya di strata satu, saya tidak perlu repot-repot bekerja. Di saat teman-teman lain bersantai di malam hari, saya mengajar les. Di saat teman-teman lain nongkrong di cafe, saya sibuk ngupasin jagung untuk dijual. Kalau hidup saya selalu mulus dan mujur, mungkin sekarang saya sudah kerja kantoran, menikah dengan pria idaman, dan hidup bak di cerita Fairy Tales macam Cinderella. After getting married, you'll live happily ever after. The end! Atau mungkin kini saya sedang menikmati indahnya belajar di strata dua.

Namun hingga detik ini, semuanya belum tercapai. Sedihkanh saya? Tentu saja sedih (pake banget). Irikah saya? Iri banget (pakai tanda tanya seratus biji). Pengen mengeluhkah? (Pengen banget malah. Namun jika dipikir kembali, kenapa harus mengeluh? saya yakin semua ada hikmahnya. Hitung-hitung belajar hidup, belajar bersyukur, belajar menghargai uang, belajar menghargai orang. Lagian, saat ingin mengeluh selalu saja petikan puisi Ibrahim Tauqan, Mikhail Nuaimah, dan nasihat Ustad Budi berkolaborasi di benak saya.

Tauqan menyuruh saya untuk menghapus air mata, bangkit, dan jangan berkelu kesah karena berkelu kesah sejatinya adalah sifat para pemalas. Mikhail Nuaimah sering kali berbisik agar saya selalu melihat alam di sekitar saya agar saya selalu merasa beruntung dan kaya karena rembulan, gemintang, dan bebungaan adalah milik kita. Suara Ustad Budi masih terngiang dan terdengar lantang. La Tataawwah! Jangan mewngeluh! You can if you think you can.

Kalau dipikir-pikir kenapa harus mengeluh dan menganggap diri kita adalah orang yang paling sial di planet bumi ya? Lagian, tidak ada manfaatnya kalau hanya mengeluh dan mengeluh. Waktu habis tanpa menghasilkan apa-apa. Lebih baik tetap berpikir positif agar kita selalu terpacu untuk berusaha. Lebih baik tetap tersenyum daripada bermuram durja. Hitung-hitung ibadah juga.

Inilah proses hidup. Tiap orang memiliki proses yang berbeda. Ada yang mulus kayak jalanan di Putera Jaya. Ada yang macet kayak jalanan di Jakarta. Semua butuh proses walau kadang kita sering kali meremehkannya. Kebanyakan pengen instan. Well! Ibaratnya makan Mangga yang matang di pohon dan Mangga karbitan. Mana yang lebih enak? Tentu saja Mangga yang melalu proses di pohon bukan? Jadi, nikmati saja prosesnya. Rasakan saja seluruh duka, kepahitan, dan kesedihan saat kita berproses karena sejatinya manusia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan jika tidak pernah merasakan kesedihan. So apakah masih ingin mengeluh?

Tuesday 11 March 2014

Hikmah Di Balik Musibah

Beberapa hari ini berita hilangnya Malaysa Airlines masih marak terdengar dimana-mana. Berita ini menjadi perbincangan hangat dan diulas berkali-kali. Baik di layar kaca, media cetak, media online, bahkan jejaring sosial. Berita yang ditampilkan bukan hanya tentang peristiwa hilangnya pesawat, tetapi juga mencakup opini ahli penerbangan, perbincangan seputar aturan keselamatan penerbangan domestik, bahkan juga prasangka "freak" yang dilontarkan para pengguna jejaring sosial. 

Nah komentar inilah yang akan diangkat dalam tulisan kali ini. Ada sebuah komentar yang mengatakan bahkan musibah ini terjadi akibat para penumpang pesawat akan pergi berjudi ke Beijing. Lantas Tuhan menurunkan azab-Nya dengan cara seperti itu. Sama seperti musibah-musibah besar yang terjadi sebelumnya, khususnya di Indonesia. Misalkan saja, saat Letusan Gunung Merapi 2010 lalu. Ada yang mengatakan bahwa Yogyakarta merupakan kota yang penuh maksiat sehingga diazab dengan musibah itu. Begitu juga dengan gempa Padang, Tsunami Aceh dan lain sebagainya.

Saya pribadi sangat menyayangkan komentar macam tersebut. Musibah mungkin memang adalah azab. Namun, tidak seharusnya kita menghakimi. Biarlah hanya Tuhan yang tahu, Harusnya kita bersimpati dan membayangkan jika kita berada di posisi mereka. Bayangkan saja! Mereka sudah susah dan sedih lalu ditambah lagi dengan hujatan yang kita lontarkan. Betapa sedihnya bukan? Jadi sebelum menulis atau mengucapkan komentar semacam itu, tanya dulu pada hati nurani kita. 

Mungkin terkadang musibah adalah sebuah peringatan dan teguran dari Tuhan. Namun, ingatlah bahwa di balik musibah pasti ada hikmah. Saya pernah melihat dan merasakan itu saat gempa Padang beberapa tahun lalu. Para tetangga yang biasanya saling cuek, tiba-tiba saja saling membantu bahkan membantu orang yang tidak dikenal sama sekali. Ketimpangan sosial antara si Miskin dan si Kaya pun tiba-tiba saja menghilang. Permusuhan yang terjadi sebelum musibah juga lenyap entah kemana. Semuanya saling membantu, bahu membahu, dan bekerjasama. Tuhan ingin memperkuat "muammalah baina nas" di antar kita. Nah, mungkin itu hikmah dan teguran-Nya. Agar kita, sebagai umat-Nya bersatu karena sejatinya kita bagaikan satu tubuh. Jika satu bagian tubuh sakit, maka yang lain juga akan merasakannya.


Monday 10 March 2014

Galeri Delapan Tahun Silam




Sepotong pagi nan cerah di tahun 2006 namun tak secerah suasana hati. Jantung ini berdetak dua kali lebih cepat, sedangkan kaki berjalan lambat seperti enggan berjalan. Serasa macam pesakitan yang akan menerima hukuman gantung. Hari itu benar-benar hari penentuan. Lulus dari Kampung Damai atau masih mendekam setahun lagi? Ah! Lebih baik pasrahkan saja bukan? Yang terpenting, sudah berusaha sekuat mungkin.

Hari itu adalah hari yudisium kelulusan saya dari Gontor Putri. Deg degan gak karuan. Takut nggak lulus padahal sudah 6 tahun di sana. Sedihkan kalau gak lulus? Hari itu lapangan depan gedung Kuwait sudah dipenuhi para wali murid yang akan menyaksikan kelulusan dan menjemput kami sebagai alumni Gontor Putri 2006. Di satu sudut lapangan, tampak sebuah mobil Ambulance bertengger manis siap siaga jika ada sesuatu yang tidak diinginkan (baca: ada santri yang belum lulus ujian akhir) terjadi. Untungnya, orang tua saya tidak datang. Jadi, jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan itu, setidaknya saya tidak melihat langsung raut sedih kedua orang tua saya. Saya memilih duduk di satu kursi dekat pinggiran tenda. Menunggu dengan resah dan gelisah.

Akhirnya, panggilan gelombang pertama pun mulai. Gelombang pertama adalah panggilan untuk para santriwati yang lulus dan mengabdi di pondok pusat dan cabang. Nama pertama yang dipanggil pastilah santriwati yang mendapatkan nilai mumtaz alias cumlaude. Lalu dilanjutkan dengan naman-nama yang akan ditempatkan di setiap pondok cabang. Well! Saya yakin nama saya tidak akan ada di panggilan gelombang satu ini. Namun, tiba-tiba nama saya disebutkan. Sontak saya ternganga dan teman-teman di sebelah saya juga terbelalak tak percaya.

Dengan langkah gemetaran, saya berjalan menuju tangga. Di ujung tangga, Saya melihat ustad Budi, wali kelas saat saya kelas V, tersenyum sambil mengucapkan selamat. Saya mengangguk kemudian berlalu masuk ke dalam sebuah ruangan yang sudah penuh. Akhirnya saya tahu bahwa saya akan mengabdikan diri selama setahun di Gontor Putri 4 Lamomea, Konda, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Glek! Saya akan merantau lagi rupanya. Kali ini ini ke Celebes. Okey baiklah! Yang sangat saya syukuri saat itu adalah kami semua, angkatan 2006, lulus semua. Alhamdulillah...

Sujud Syukur

Setelah Sujud Syukur
Teman-teman seperjuangan di Gontor Putri 4

Dan inilah petualangan di Gontor Putri 4 Kendari.....

Gedung al-Azhar Gontor Putri 4

Pengasuh Gontor Putri 4 dan staf pengajar

Jadi, Kampung Damai (PMD Gontor) mempunyai tradisi di setiap awal tahun ajaran, yaitu acara Khutbatul Arsy atau pekan perkenalan. Acaranya bermacam-macam, dari apel tahunan hingga pentas seni kelas 6. Nah di Gontor Putri 4 sendiri juga ada, namun tentu saja lebih sederhana daripada acara di pondok pusat. Kalau di pondok pusat, para staf pengajar akan dibantu siswa/i kelas 6 untuk kepanitiannya. Kalau di GP 4 semuanya menjadi tanggung jawab para pengajar. Pagi ngajar, siang ngajar, sore ngajar TPA di sekitar pondok, malam begadang menyiapkan acara. Yap! Kerjakan dengan riang dan tentu saja dengan penuh rasa ikhlas seperti yang telah diajarkan para ustad pengasuh pondok dan Trimurti pendiri pondok. Inia dia galeri fotonya:

1. Apel Tahunan



2. Pentas Seni
Berhubung di GP 4 belum ada kelas V dan kelas VI, maka seluruh santriwatilah yang menampilkan bakat dan kebolehan mereka. Dan kegiatan ini sangat berkesan bagi saya pribadi karena saya bisa terjun mengajarkan tari Gelombang khas Sumatera Barat. Cekidot!

Paduan Suara sebagai pembuka acara. "Darussalam"
Coached by me (hehe)

Jika liburan datang, dan para santriwati pulang biasanya kami akan pergi refreshing ke pantai. Dan pantai di Sulawesi Tenggara masih bersih banget. Yang saya ingat adalah Nambo dan Batu Gong.



Para Ustad (yang dulunya pada masih lajang :D) dan pekerja pondok

Kangen sangat rasanya. Suatu saat pengen sekali saya kembali kesana untuk sejenak bernostalgia. Ah Semoga.

Rambo. Mobil serba guna


Bazar April Cafe

Lebaran!!!

Yang gak pake seragam ketahuan banget orang di balik layar (baca: masak-masak)


Sebenernya masih banyak sekali kisah-kisah suka dan duka di sana. Namun, posting kali ini cukup meredam rasa rindu saya. Semoga kita dapat bermanfaat bagi masyarakat di lingkungan sekitar kita ya teman-teman.

Sunday 9 March 2014

Review Skripsi Semiotika

Walau sudah tidak menjadi mahasiswi Sastra Arab lagi, beberapa orang adik angkatan masih bertanya seputar semiotika khususnya untuk meneliti puisi. Hmm. Sebenarnya ilmu saya masih sangat cetek. Bahkan saya pun belum diberi kesempatan untuk melanjutkan studi lagi ke jenjang strata dua. Namun, semoga saja kekurangan ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat tentu saja. Saya hanya bisa berbagi pengalaman saya saat mengerjakan skripsi. Saya mungkin akan menjelaskan dengan bahasa sederhana saja dan tidak memakai istilah yang aneh-aneh lagi menakutkan.

Salah satu masalah yang sering saya dapati adalah cara memaknai puisi. Contoh kasusnya biasanya terdapat pada puisi yang berisi tentang perjuangan dan kritik terhadap pemerintah. Di dalam beberapa judul puisi, terkadang dapat ditemui tanggal yang biasanya merujuk pada suatu peristiwa non fiktif  alias nyata. Dan tanggal ini biasanya memiliki kolerasi dengan isi puisi. Biasanya si peneliti langsung saja memaknai isi puisi  tersebut dengan memaparkan peristiwa  nyata yang terjadi tanpa menekuri kata demi kata dalam bait puisi. Lantas jika memaknai seperti demikian apa bedanya Semiotika dengan Sosiologi Sastra bukan?

Yap! Sebenarnya dua teori ini berbeda. Dulu saya juga sempat seperti itu. Saya sering kali googling mencari 'sejarah' dan 'kisah' yang terjadi di dalam puisi yang saya teliti. Namun Dosen Pembimbing saya mengatakan bahwa saya tidak perlu repot mencari peristiwa nyata yang terjadi, namun maknailah kata demi kata setiap bait puisi tersebut karena teori yang digunakan adalah Semiotika.

Agar saya selalu ingat dan tidak tertukar lagi antara Semiotika dan Sosiologi Sastra, saya mengingat-ingat empat orientasi Sastranya Abrams dalam buku The Mirror and The Lamp, yaitu Mimetik, Pragmatik, Ekspresif, dan Subjektif. Simpelnya, teori Mimetik adalah teori yang beranggapan bahwa karya sastra adalah imitasi atau tiruan dari alam semesta. Teori Pragmatik adalah teori yang beranggapan bahwa pencipta karya sastra dianggap telah mati, sedangkan karyanya akan dinilai oleh para pembaca. Teori Ekspresif adalah teori yang menyatakan bahwa karya sastra adalah bentuk ungkapan perasaan sastrawan itu sendiri, sedangkan teori Subjektif adalah teori yang memaparkan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang otonom alias berdiri sendiri (ingatkan saya jika penjelasan ini salah).



Nah, apa hubungannya dengan Semiotika dan Sosiologi Sastra? Tentu saja berhubungan. Mudahnya, Sosiologi Sastra adalah turunan dari teori Mimetik, sedangkan Semiotika adalah turunan dari teori Subjektif. Jadi, saat memaknai puisi, fokuslah pada kata-kata yang terdapat dalam puisi karena saat itu puisi menjadi sesuatu yang otonom alias berdiri sendiri. Adapun peristiwa nyata yang memang terjadi hanyalah sebagai penguat pemaknaan kita.

Kata teman-teman, yang sudah terlebih dahulu melanjutkan studi di strata dua, pelajaran yang seperti ini tidak ada artinya sama sekali sih. Tapi setidaknya cukuplah untuk menambah pengetahuan kita. Yah. Semoga saja saya bisa menyusul mereka untuk melanjutkan studi saya. Amiin. Semangat!!!

Friday 7 March 2014

Loving Arabic Literature

Really miss his voice so much when he's reading his poetry!!



I'am back! Yeah kembali lagi menekuri Introduction of Modern Arabic Poetry, Semiotic of Poetry-nya Riffaterre, Modern Arabic Literature 1800-1970, A Critical Introduction to Modern Arabic Poetry, dan masih banyak lagi. Aih! Betapa rindu rasanya menekuri kembali kumpulan puisi Arab karya Nizar Qabbani. Sekilas, puisi-puisi ciptaan Qabbani memang terlihat erotis. Beberapa teman Arab saya sendiri tidak menyukai karya-karya Qabbani. Saat mengerjakan skrispi dulu, mereka banyak menyarankan saya agar meneliti karya Mahmud Darwisy yang puisinya memang berisi tentang semangat perjuangan rakyat Palestina untuk mendapatkan kemerdekaan mereka atau Jubran Khalil Jubran (aka Kahlil Gibran) yang romantis ataupun Mikhail Nuaimah dan lain sebagainya.

Sebenarnya, saya menyukai semua puisi dan pepatah Arab. Semuanya indah dengan wazn dan ritme yang sangat harmonis. Kalau dijabarkan di sini mungkin akan panjang dan bisa jadi sebuah karya ilmiah. Keindahan bahasa Arab memang tidak tertandingi. Bahkan mungkin keromatisan kata-katanya juga akan mengalahkan bahasa Prancis yang dijuluki bahasa teromantis. Selain romantis, puisi dan pepatah Arab memiliki ruh yang rasa-rasanya dapat mengendalikan emosi dan semangat saya. Contohnya saja, puisi Ibrahim Tauqan yang berjudul at-Tafaaul yang berarti optimis. Saking ngefansnya, saya mengutip beberapa baris puisinya untuk halaman motto di skripsi saya. Saya suka semuanya, namun yang paling saya suka adalah Nizar Qabbani walau kata orang puisinya banyak yang erotik dan menggunakan kata-kata yang vulgar. Nah inilah yang menarik untuk diteliti. Menurut saya, keerotisan puisi Qabbani pasti memiliki makna penting yang ingin disampaikan olehnya. Tugas kita adalah meneliti makna yang tersembunyi tersebut. Dan di sinilah Semiotika menjalankan tugasnya. Saya benar-benar jatuh cinta pada puisi Arab dan semiotika. Tahun ini sepertinya tahun terakhir untuk mendapat kesempatan 'sekolah' kembali. Jadi, saya harus bekerja keras dan tetap optimis. Semoga Tuhan mendengar doa-doa saya. Amiin.

Dulu saya pernah bertanya-tanya dalam hati. Kenapa saya memilih sastra? Dengan kasat mata, sastra bukanlah bidang ilmu yang sepertinya punya peran dalam kehidupan kita sehari-hari. Beda dengan orang yang mengambil Teknik, Kedokteran, Psikologi, Ekonomi, Komunikasi, dan lain sebagainya. Anak teknik dapat membantu masyarakat dengan menciptakan sebuah alat, anak kedokteran dapat membantu dengan mengobati orang dan lain sebagianya. Terus sastra? Apakah hanya berkutat di dalam ruang sumpek penuh buku untuk sekedar membaca dan menulis? Namun, saya akhirnya menemukan jawaban. Ilmu sastra juga berguna untuk masyarakat sekitar kita bahkan untuk negara. Memang sih anak sastra tidak bisa menciptakan mesin canggih atau mengobati orang sakit, namun mereka membantu lewat tulisan mereka. Yap! Tanpa disadari, tulisan adalah sebuah media yang dapat mempengaruhi orang. Lihat saja berapa banyak sastrawan yang dijebloskan ke dalam penjara karena tulisan mereka yang berisi kritikan. Salah satunya sebut saja Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, di dunia Arab, puisi adalah salah satu media untuk berjuang membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan kritikan pada pemerintah.

Mungkin ilmu Humaniora belum populer saat ini dan dipandang sebelah mata. Namun, seiring berjalannya waktu, saat dunia menjadi cyber, 20 atau 50 tahun lagi manusia akan melirik ilmu-ilmu ini. Tentu saja karena ilmu-ilmu Humaniora membantu melestarikan peninggalan dan catatan perjalanan umat manusia. Manusia tidak akan bisa menuju masa depan tanpa melalui masa lalu bukan?

#Trust me! Arabic is truly awesome!

Wednesday 5 March 2014

Bagaimanakah Dakwah Kita?

Kala itu ahun 2009. Saya sedang duduk bersama teman-teman di selasar lantai I FIB saat beberapa perempuan memakai jilbab panjang dan lebar, berbaju gombrong serta rok panjang tiba-tiba saja mendekati kami mengajak kami berdiskusi. Salah satu di antara mereka memulai pembicaraan. Awalnya tentang kenaikan harga BBM dan kebijakan subsidinya. Mbak tersebut memaparkan panjang lebar. Kami hanya melongo mendengarkan. Beberapa orang di antara kami malah sudah tidak betah dan kasak-kusuk sendiri. Malah beberapa ada yang meninggalkan tempat tersebut berpura-pura mau masuk kelas. 

Saya sendiri masih mendengarkan dengan serius merasa tertarik dengan perbincangan ini. Pada akhirnya pemaparan si Mbak tadi beralih dari masalah bensin ke masalah penerapan hukum-hukum Islam di Indonesia. Hmm. Berat ini ternyata! Akhirnya si Mbak bertanya pada saya apakah saya setuju jika hukum Islam diterapkan di negeri ini. Karena mereka berpendapat bahwa syariat Islam adalah hukum yang paling benar dengan memaparkan sejarah kemakmuran pada masa Rasulullah dan para khalifah.

Menurut saya? Menurut saya memang jika dikaji aturan-aturan dalam Islam memang sempurna. Semuanya diatur dengan rapi tanpa cela. Saya setuju saja sebenarnya. Namun dari sudut pandang lain, penerapan hukum Islam ini sepertinya belum bisa diaplikasikan di Indonesia. Ini tentu saja karena penduduk Indonesia yang multikultural. Banyak suku, ras, etnis, dan agama. Jadi, saya menyimpulkan bahwa belum memungkinkan untuk menerapkan aturan tersebut di Indonesia. Si Mbak lalu bertanya lagi, "Lantas jika sebenarnya Anda setuju, lalu apa solusinya?". Saya berpikir kembali. Dengan pola pikir anak seumuran saya pada saat itu, saya mengatakan mungkin bisa saja hukum dan aturan negara ini 'mencontek' sebagian dari hukum Islam dan dipadukan dengan hukum negara kita sehingga toleransi antar agama tetap utuh dan terjaga. Intinya jangan sampai ada yang tersakiti.

Si Mbak memberi pernyataan bahwa hukum Islam tidak akan merugikan orang lain, jadi seharusnya hukum Islam dapat diterapkan di negeri ini. Okey! Kalau sudah berbicara kesempurnaan hukum Islam, saya akan angkat tangan menyerah. Yang jadi masalah bukan Islam dan hukumnya, namun kita, para penganut agama Islam. Kita seharusnya lebih banyak introspeksi diri terlebih dahulu. Apakah kita telah mengikuti teladan kita, Rasulullah SAW, contoh kecilnya dalam muammalah kita pada sesama umat Islam dan pada mereka yang non muslim?? Sudahkah? Kalau sudah, mengapa sering kali terjadi kerusuhan yang disebabkan oleh organisasi yang mengatasnamakan Islam? Tidak hanya satu dua kali. Sudah sering malah. Saya miris melihat, mendengar, atau membaca sepak terjang organisasi atau golongan tertentu yang sering kali bikin onar dengan mengatasnamakan untuk membela Islam. Membela Islam macam apa itu? Yang ada hanya menjelekkan citra agama yang kita cintai ini.



Islam sejatinya adalah rahmatan lil alamiin. Rahmat bagi seluruh alam termasuk seluruh umat manusia apapun keyakinan mereka. Islam itu indah dan damai. Islam bukanlah kekerasan dan peperangan. Pasti masih ingat kan di benak kita bagaimana Rasul memperlakukan seseorang yang telah melempar beliau dengan kotoran? Kita masih ingatkan tentang perlakuan adil dan toleransi para khalifah terhadap masyarakat non muslim? Namun, apa yang terjadi di negara kita? Kekerasan yang katanya adalah penegakkan syariat Islam. Kekerasan yang katanya adalah bentuk pembelaan pada agama. Bahkan omong kosong yang katanya untuk dakwah mengajak orang-rang ke dalam pelukan Islam.

Dakwah. Ya saya akui seluruh umat Islam memiliki kewajiban untuk berdakwah. Tapi dakwah yang bagaimana sih? Sepengamatan saya, dakwah kita ini aneh. Benar! Aneh! Ada yang dengan kekerasan. Ada yang dengan omongan, tapi sayang omong kosong dan menyakitkan. Kalau kekerasan mungkin contohnya sudah banyak ya di surat kabar dan tayangan televisi nasional. Kalau omong kosong yahh lihat saja di sekitar kita. Saya pernah ikut pengajian yang intinya adalah masalah anak muda 'banget' apalagi kalau bukan masalah cinta dan pergaulan dengan lawan jenis. Intinya si pembicara meminta kita menjaga hati dari yang namanya laki-laki yang bukan muhrim. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Orang yang mengajak malah melakukan larangan yang mereka katakan sendiri. Miris sekali rasanya melihat teman-teman yang mulanya bersemangat untuk lebih mengenal kindahan agama kita menjadi malas dan tidak tertarik lagi. Belum lagi yang berdakwah dengan melontarkan omongan pedas, menggurui, bahkan terkesan memuji diri sini mengaggap dirinya paling soleh. Lah bagaimana orang akan terbujuk jika seperti itu?

Saya setuju dengan opini Ustad Shamsi Ali. Dalam satu program televisi beliau mengatakan bahwa dakwah itu harus dilakukan dengan kasih sayang karena kegelapan tidak akan pernah terang dengan caci maki. Lantas, saya menyimpulkan bahwa kita harus berdakwah dengan pelan-pelan, lemah lembut, dan tidak hanya dengan omongan yang pada akhirnya bak janji-janji palsu para caleg. Jika berdakwah dengan perkataan, maka  berkatalah dengan halus, tidak menggurui, dan tidak menganggap bahwa diri kita paling benar serta pegang teguhlah apa yang dikatakan lantas contohkan dengan tindakan yang sinkron dengan apa yang kita katakan.

Setelah panjang lebar mengungkapkan opini saya pada si Mbak. Mbak itu lalu bertanya, Lalu bagaimana Dek? Mau ikut tidak untuk menegakkan syariat Islam di Indonesia? (dalam hati: Yah! Pertanyaan itu lagi!!). Saya menggeleng saja. "Tidak ikut Mbak. Tapi saya mendukung saja dengan catatan yang sudah saya paparkan tadi, Si Mbak menjawab, "Ya sudah. Kalau hanya mendukung dan tidak ikut berjuang, Adek bakal masuk syurganya terakhiran. Wassalamualaikum." Si Mbak berlalu begitu saja. Saya hanya tersenyum dan membatin, "Wallahu a'lam..."

Monday 3 March 2014

Sebuah Cerita Di Kedai Kue Ceria

Pagi itu Kedai Kue Ceria masih tampak sepi pengunjung. Ciara, putri tunggal Bunda Dewi, sang pemilik toko, tampak sibuk mengelap kaca etalase sambil menata kembali kue-kue kering yang akan dijual. Ia juga menyisihkan beberapa kotak kue yang telah dipesan oleh para pelanggan. Hari-hari menjelang Lebaran seperti ini adalah hari yang sibuk sekaligus hari keberuntungan bagi keluarga Ciara. Pembeli akan bertambah banyak dan para pelanggan tetap akan memesan kue lebih banyak dari biasanya.

Di tengah kesibukannya, diam-diam, sudut mata Ciara menangkap gerak-gerik seseorang yang tengah memasukkan adonan kental Chocolate Slice Cake ke dalam beberapa buah loyang yang terlebih dahulu telah dilapisi kertas roti dan diolesi mentega. Dengan cekatan, jemari kokoh itu meratakan adonan menggunakan sepatulah plastik. Pekerjaannya nyaris sempurna tanpa ada setitik noda adonan yang tumpah di atas meja. Beberapa saat kemudian, sosok itu pergi sambil membawa dua loyang adonan menuju oven yang terletak di sebuah sudut ruangan. Ciara setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwasannya seorang lelaki terlihat seksi saat mereka memasak bukan pada saat pamer otot gede dan perut six pack di kontes sebuah produk susu.

Bang Ailul. Itulah panggilan yang selalu Ciara gunakan untuk memanggil sosok tersebut. Ia adalah mantan anak murid bunda Ciara di sebuah sekolah kejuruan. Kata bunda, Bang Ailul adalah anak yang rajin bekerja dan tak banyak bicara. Ciara pertama kali bertemu dengannya ketika masih duduk di bangku SD, saat bertandang ke sekolah bundanya dan tanpa sengaja melihat Bang Ailul sedang mengukir daging buah semangka membentuk kelopak-kelopak bunga. Bunda beberapa kali juga meminta bantuannya untuk bekerja di toko mereka saat Lebaran akan tiba.

Hari-hari pun berlalu. Singkat kata, Ciara beranjak dewasa da melanjutkan pendidikannya di luar kota. Begitu juga Bang Ailul. Ia memutuskan merantau ke negeri tetangga untuk bekerja. Lama sekali Ciara tak berjumpa dengannya hingga tibalah saat ini; Ciara sedang liburan bulan Ramadhan dan Bang Ailul sendiri mengambil cuti setelah sepuluh tahun meninggalkan tanah air. Tak banyak yang berubah darinya termasuk sifat rajin bekerja dan tak banyak bicara. “Ra! Ara” Tiba-tiba saja Bang Ailul sudah berdiri di sampingnya. Membuat dirinya tergugup takut ketahuan bahwa ia sedang memerhatikan dan memikirkan Bang Ailul.

“Ra… tolong buatkan adonan Mocca Coffee Cookies. Nanti Abang yang mencetaknya”. Tanpa banyak tanya, Ciara langsung melesat masuk ke dapur dan mulai meracik adonan kue kering yang diminta. Jantung Ciara berdetak dua kali lebih cepat. Grogi karena Bang Ailul memerhatikannya meracik adonan. Ciut karena sedang diperhatikan oleh ‘pakar’ pembuat kue. Jika dibandingkan, kemampuannya dan kemampuan Bang Ailul sangatlah jauh berbeda. Ciara sendiri belajar meracik adonan secara otodidak, sedangkan Bang Ailul sudah belajar sejak sekolah ditambah lagi dengan pengalaman kerjanya menjadi seorang chef hotel bintang lima. Bang Ailul sendiri tampak tersenyum geli melihat wajah dan pergelangan kemeja Ciara yang sudah dipenuhi oleh tepung terigu dan mentega. “Udah deh Bang! Jangan lihat Ciara seperti itu! Ciara nggak PD nih lagian ini kan bukan acara Master Chef. Tuh Black Forest Bang Ailul sudah ngambek minta dihias,” kata Ciara sewot sambil menunjuk Black Forest malang, yang tergeletak di atas meja hias, dengan sepatulah yang dipegangnya. Rada nggak sopan sih, tapi terpaksa. “Iya deh…,” katanya sambil berlalu membawa semangkuk cherry merah bertangkai.

Tiba-tiba Tante Noni, adik ipar bunda, sudah berdiri sejajar di sampingnya sambil senyam-senyum menggoda. Ciara sempat kaget. Untung saja essen mocca yang dipegangnya tidak tumpah ke dalam adonan buatannya. “Ra, apa kamu tidak tertarik dengan Bang Ailul? Ganteng, cool, nggak banyak omong, dan pintar masak lagi,” Tante Noni mulai promosi. Promosi yang sama sejak Bang Ailul datang ke Kedai Kue Ceria tahun ini. “Duh tante! Ngagetin aja deh! Ciara belum berpikir untuk punya pasangan tante. Umur Ciara masih 22 tahun pula,” jawab Ciara sok kalem. “Apa? 22?? Kenapa jadi lebih muda empat tahun Ra? Gak salah dengar apa telinga tante ini?” Ciara mematikan mixer yang dipegangnya sambil berkata, “Just kidding tante! Jangan masukin ke hati. Hmm gimana ya? Sepertinya Ciara belum tertarik,” Tante Noni melengos kecewa dan pergi ke etalase mengambil beberapa kotak Nastar dan Kastengel pesanan pelanggannya. Ciara geleng-geleng kepala melihat tingkah tantenya yang tetap gaul walau umur sudah jauh dari kata ABG.

Tertarikkah ia? Jawaban hatinya adalah ‘iya’. Ciara tidak memungkiri bahwa diam-diam, ia tertarik dengan Bang Ailul. Baik, kalem, pekerja keras, bonus pintar masak pula. Bahkan rasa tertariknya sudah over dosis. Bahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang keramat, yaitu cinta. Tapi, Ciara tidak mau lagi banyak berharap. Memori itu memang telah 6 tahun berlalu, tapi goresan lukanya masih belum sembuh hingga kini. Mungkin ia masih memerlukan banyak waktu untuk recovery. Biarlah ia titipkan saja rasa cintanya pada sang maha Cinta. Ciara yakin bahwa Dia lebih tahu siapa yang terbaik untuknya. Jika jodoh dekatkanlah, jika tidak, mohon jauhkanlah dia, Tuhan…. Berserah. Mungkin ini adalah pengobat luka hatinya. Ciara tersenyum menyadari bahwa ia telah berdamai dengan cinta. Namun, cinta kali ini biarlah hanya Ciara dan Tuhan yang tahu. Dan Tuhan pula yang memutuskan akhirnya. Bukan tebak-tebakan ia, bukan Tante Noni, dan bukan juga sahabat-sahabat gokilnya.

“Ra! Adonannya dah jadikah?  Ni Abang buatkan Banana Cake tuk takjil nanti. Sedap dinikmati dengan tea. Resep baru Abang!” Kalimat Bang Ailul dengan logat bahasa Melayu khas negara tetangga sebelah menyadarkan Ciara dari lamunannya. Ciara tersenyum mengucapkan terima kasih.

---TAMAT---

#Efek baca novel genre romatis mellow-mellow. Ayo donk Oom Dan Brown! keluarkan lagi karyamu setelah Inferno!!! Biar gak mellow kayak gini. Pliss!

Saturday 1 March 2014

Jogjakarta Again

Hola! Como estas? Bien?! Sudah tiga hari menginjakkan kaki lagi di Jogjakerdah. Rasanya senang tak terkira kayak ketemu kekasih hati yang terlibat cinta jarak jauh (halah! kayak pernah aja!). Jogja sudah mendingan daripada saat saya tinggal sekitar seminggu yang lalu. Minggu lalu Jogja penuh abu vulkanik kayak video klipnya lagu Guzaarish, tapi tiga hari ini Jogja sudah lumayan bersih walau sesekali ada butiran-butiran debu nyasar masuk mata dan bikin efek kedap-kedip nggak karuan. Selain kangen Jogja, saya juga kangen berat sama teman paling setia saya, teman yang mau saja saya suruh-suruh angkat benda-benda berat bahkan angkat jagung manis 20 kg dari Demangan ke Jakal, siapa lagi kalau bukan Si Jago Merah, motor hasil pinjaman dari ortu (belum mampu beli sendiri hehe...). Tampangnya Si Jago Merah tidak kalah berantakannya dari kota Jogja seminggu yang lalu. Warna merahnya sudah agak memudar tertutupi abu vulkanik gunung Kelud (Ah! Percuma saja kemaren dimandiin nih motor).

Hari pertama sampai, langsung merencankan beberapa list yang harus dikerjakan hari itu juga macam ngerjain motivation letter, minta surat rekomendasi dari kedua bapak dosen yang baik hati, janjian sama Eva, mandiin Si Jago Merah, dan beli jam tangan. Walhasil yang bisa dikerjakan hanya bertemu dengan Eva dan minta contoh format surat rekomendasi yang rada-rada British gitu. Setelah itu, pergi ke Elizabeth beli jam tangan (lagi-lagi) dengan Eva. Pada dasarnya mungkin yang namanya cewek emang doyan yang namanya shopping. Yang awalnya cuma beli jam tangan eh jadi keterusan lihat-lihat tas, dompet, dan sepatu. Well, kalau tas dan dompet mungkin nggak terlalu masalah karena saya tidak terlalu suka membeli dua barang itu. Nah kalau sepatu beda lagi itu perkaranya. Tapi, bukan Nta kalau tidak bisa menahan nafsu untuk shopping. Hahahaha. Setelah puas lihat-lihat, kami cabut dari toko itu dan ternyata hujan sudah turun dengan lebat. Akhirnya ngacir menuju foodcourt toko sebelah beli makanan. Iya sih beli makanan, tapi modus utamanya tetap aja cari tempat berteduh yang cozy (Maap ya mas yang jualan Ayam Lari). 



Di sini mulailah, saya dan Eva mengobrol ngalor ngidul tentang berkas-berkas persyaratan S2 dan hunting beasiswa dari beberapa negara. Yaya... saya sama Eva sekarang lagi jadi Scholarship Hunter. Kami punya keinginan yang sama. Sama-sama pengen jadi dosen Bahasa Arab. Untuk jadi dosen, ya harus S2 dulu, tapi kami tidak ingin lagi merepotkan orang tua. Maka jadilah kami ini para pemburu beasiswa. Kalau dengar atau baca tentang beasiswa sinyal kami langsung penuh deh. Rupanya percakapan kami beralih ke soal nikah (*halahhh! itu lagi). Nikah hmm topik yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan dan sepertinya lebih sensasional daripada gosip artis di tipi. Tiba-tiba saja tertohok dengan pertanyaan Eva. Nanti seandainya mendapatkan beasiswa (khususnya beasiswa luar negeri) terus ada seseorang yang "mengkhitbah" (asyikkk istilahnya khitbah cyinn!!) lalu mau bagaimana? Tik... tok... tik... tok... terdiam dan berpikir cari ide pakai gaya Ikyu San sambil melongo dan bilang "oh iyaya". Nah lho? Bagaimana ya? Saya juga bingung. Tapi dengan (sok) kalem saya jawab saja. Ya kalau hati sreg ya nikah aja dulu. Bagaimanapun ikatan pernikahan kan lebih erat dibanding ikatan pertunangan apalagi pacaran. Kalau ternyata yang dipermasalahkan adalah masalah beasiswanya, ya ya belum ada solusi yang konkret sih, tapi mungkin masalah ini harus dikomunikasikan dengan si "dia". saya yakin sudah banyak laki-laki yang berpikiran maju dan tidak kolot lagi di tahun 2014 ini. Yup. Mungkin lagi-lagi solusinya adalah komunikasi yang intens (mirip judul acara infotainment). Klise sih, tapi banyak benernya.

Tiba-tiba teringat novel-novel karya mbak Fanny Hartanti yang sering kali mengangkat cerita tentang perempuan. Yeah... pada akhirnya perempuanlah yang harus mengalah. Okey. Ini juga klise. Tapi setidaknya kita telah berusaha untuk speak up tentang ide dan impian kita. Kalau si "dia" memperbolehkan kita untuk melanjutkan pendidikan ya betapa beruntungnya kita karena mendapatkan seorang lelaki (Aih... bahasanya pakai "lelaki" bo!) yang pengertian dan memikirkan kelangsungan pernikahan ke depannya saat tiba masanya memiliki anak. Ya seperti kita  tahu, zaman terus maju dan berkembang pesat, begitu pula dengan generasi mendatang. Mereka akan berlipat-lipat kali lebih cerdas. Jadi, tak ada salahnya perempuan memiliki pendidikan yang tinggi karena dia akan menjadi seorang ibu. Yap. Ibu bukan hanya lembut, tapi juga tangguh, kuat, dan pintar. Salah satunya dengan apa? tentu saja dengan pendidikan.

Hujan pun akhirnya reda. Kami keluar menuju parkiran lalu melesat ke area kampus untuk mengambil motor Eva. Setelah ber"dadah-dadah" ria, kami berpisah di parkiran belakang. Sepanjang perjalanan ingatan saya masih terngiang-ngiang dipenuhi percakapan kami di foodcourt. Kalau boleh jujur sebenarnya, kalau berada di posisi seperti itu, saya tidak rela sih. karena itu adalah impian terbesar saya. Saya ingin melanjutkan S2 dan menajdi dosen Bahasa Arab yang ahli dalam kajian Semiotika atau Kritik Sastra Feminis. Ah! Semoga saja Tuhan mengirimkan seseorang yang mengerti akan keinginan ini. Amiin.

Okey! Baiklah saatnya terbangun dari lamunan tentang masalah ini. Now! It's show time!!! Hunting beasiswa lagi. Susah-susah lagi. Berusaha lebih keras dan keras lagi. Yup. Tiada suatu yang besar tanpa perjuangan yang hebat kata Yovie n Nuno.
 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang