Monday 24 March 2014

Sesal

Mataku tiba-tiba saja silau akibat cahaya matahari pagi yang tanpa malu-malu menerobos celah tirai jendela. Kukumpulkan nyawa mencoba membuka mata dan melirik jam weker di meja samping ranjang.
"Astaga! Sudah jam 6 pagi!" gumamku dalam hati.
Segera saja aku beranjak mematikan televisi yang begadang semalaman menontonku tidur lalu menuju kamar mandi. Sudah seminggu hidupku carut-marut macam ini karena mengerjakan disain rumah elit seorang klien. Jadilah aku bangun tidak pada waktunya, shalat juga demikian. Belum lagi kamarku yang seperti kapal pecah. Kertas-kertas, alat tulis, dan kulit kacang bertebaran di atas lantai kamar.

Setelah shalat, entah disebut shalat Subuh atau shalat Duha, aku memunguti benda-benda yang berserakan di atas lantai serta mulai membersihkan kamar ala kadarnya. Beberapa saat kemudian, perhatianku beralih pada rak buku di pojok kamar. Buku-buku di rak itu tampak kumal dan lusuh akibat debu yang makin menebal. Refleks tanganku mengambil sebuah buku tebal dengan hard cover bergambar Masjid Biru Turki lalu duduk dipinggir ranjang dan membuka halaman pertama buku membaca sebaris nama seseorang dan beberapa baris kalimat yang tertulis. Aku tersenyum sendiri. Anganku melayang ke sebuah kota yang penuh dengan kenangan itu.
"Hmmm...." 

Amira. Ami. Ya itu namanya. Gadis hitam manis dengan rambut ikal sebahu yang selalu dikuncir ekor kuda. Gadis bermata indah berbinar. Gadis yang memiliki senyuman paling manis selain senyum ibu. Gadis yang selalu ceria, menyenangkan, dan.... Dan ehm, membuat hari-hariku penuh warna. Ah! mengingatnya kembali sama dengan membangkitkan satu rasa sesal yang telah terkubur lama. Harus kuakui aku menyesal tidak jujur dengan perasaanku sendiri. Aku menyesal tidak berani mengungkapkan perasaanku hingga waktu dan jarak memisahkan kami selamanya.
”Kringgg!!!” 
Ponselku berdering. Lamunanku buyar. Kuraih benda hitam yang tergelatak pasrah di atas meja samping ranjang. Dan aku baru ingat bahwa hari ini ada rapat di kantor. Aku bergegas mandi dan meninggalkan operasi semut yang belum sampai 25 persen aku kerjakan.
***

Aku terduduk sambil memikirkan kembali hasil rapat pagi ini. Aku diserahi tanggung jawab untuk meng-handle sebuah proyek di Kendari. Sebenarnya aku sangat bangga mendapat kepercayaan besar ini, tetapi di sisi lain, aku risau jika tanpa sengaja bertemu dengan Mas Dewa, kakakku. Who knows? Iya kan? Beberapa tahun yang lalu, terjadi perseteruan hebat di antara kami perseteruan yang tidak logis bagi sebagian orang. Perseteruan cinta.

Aku melangkah gontai keluar dari ruangan tersebut.
"Hey Bro! Kok lemes banget? Harusnya Lo seneng dapet kepercayaan dari Pak Arman. Kalau Gua yang dapet proyek itu, sekalian deh gua pulang kampung gratis. Oh ya! Nih buat Lo. Pokoknya harus hadir," Kata Toni sambil menyerahkan selembar undangan berwarna biru muda.
"Thanks... Gua usahakan datang kalau kerjaan yang di Kendari kelar tepat waktu,"
***
Aku menapaki kaki di Bandara Wolter Monginsidi Kendari. Ketika keluar dari arrival gate, aku melihat seorang bapak paruh baya membawa sebuah papan bertuliskan namaku.
" Permisi. apakah Bapak yang diminta Pak Mazi untuk menjemput saya?
Bapak setengah baya itu mengangguk seraya berkata,
"Iya. Betul ji. Sa dikasih suruh untuk menjemput Bapak. Kenalkan. Nama saya Pak Musa.
Aku tersenyum mendengar logatnya yang asing di telingaku. "Panggil saja Aryan, Pak. Sekarang kemana dulu tujuan kita, Pak?
"Sa kasih antar saja ke hotel. Istirahat terlebih dahulu. Nanti malam Pak Mazi insyaAllah akan datang,"
Pak Musa membimbingku menuju mobil yang terparkir di area parkir bandara. Tak lupa aku meminta Pak Musa membuka jendela mobil agar aku dapat mengamati pemandangan kota.
***
Semua pekerjaanku akhirnya beres lebih cepat dari yang kuperkirakan. Hanya tinggal menghadiri beberapa meeting lagi. Masih ada waktu beberapa hari lagi untuk menunggu jadwal kepulanganku. Kuputuskan saja menggunakan waktu yang tersisa untuk berkeliling kota Kendari tanpa ditemani Pak Musa. Tampaknya lebih seru dan menantang menjadi ’bolang’ daripada ditemani pemandu wisata. Beberapa kali aku turun naik pete-pete tanpa tujuan pasti hingga akhirnya terdampar di sebuah toko besar di bilangan Wua-wua. Tiba-tiba saja dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki yang sepertinya kukenal. Semakin dekat semakin jelas bahwa dia adalah Mas Dewa. Ketakutanku akhirnya menjadi kenyataan. Buru-buru kulangkahkan kaki menuju pintu keluar. Saat aku menarik gagang pintu, seorang perempuan juga sedang menarik gagang pintu juga dari arah luar. Terjadilah tarik-menarik gagang pintu hingga perempuan itu mengalah dan melepaskan pegangannya.
"Kak Aryan?"
"Ami. Amira?" 

Kuperhatikanparas itu. Ami masih tetap sama. Tidak banyak yang berubah kecuali rambutnya yang kini dibiarkan tergerai bebas. Tak ada rasa kikuk di antara kami untuk memulai obrolan meski sudah bertahun-tahun lamanya terpisah jarak, ruang, bahkan waktu. Ami tersenyum geli mendengarkan cerita yang melatari tragedi tarik-menarik gagang pintu barusan.
"Kak Aryan... Kak Aryan. Dari dulu sampai sekarang sama saja. Gengsinya masih tinggi setinggi Burj Khalifah. Apologizing does not always means that you're wrong and the other person is right. It just means... you value your relationship more than your ego,"
Aku termangu.
"Hmm. You're right! Thanks a lot!"
***
Sore itu, aku berjalan beriringan dengan Ami menyusuri dermaga Kendari Beach. Rasanya ringan dan lega. Pekerjaan kantor beres begitu juga dengan masalah Mas Dewa.
"Mi, besok saya akan kembali ke pulau seberang. Apa boleh saya berbicara jujur?
"Bicara apa kak? Serius sekali tampaknya," timpal Ami santai.
"Sebenarnya sejak dulu, saya sayang... Mi. Maksud saya... saya suka kamu... maksud saya... saya mencintai kamu," Kataku tergagap.
Ami diam sesaat lalu menghembuskan nafas seraya berkata,
"Saat itu... saya mencintai seseorang. Seseorang yang sudah saya anggap sahabat karib bahkan kakak kandung. Namun, saya tidak punya keberanian untuk mengungkapkan apa yang saya rasa. Saya hanya menunggu dan berharap dia punya rasa yang sama hingga akhirnya penantian saya sia-sia. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa dia tidak memiliki rasa yang sama dengan yang saya rasakan. Dan hari ini, saya mendengarkan pengakuan bahwa dia punya rasa yang sama.
"Jadi, masikah ada harapan dan kesempatan untuk memulainya sekarang?"
"Terima kasih telah mencintai saya. Namun semua telah tertinggal jauh di masa lalu dan cukup menjadi kenangan. Semua telah berubah. Termasuk rasa. Kini, saya telah menemukan cinta lain yang telah menjanjikan masa depan. Maafkan saya,"
***
Sebulan telah berlalu, namun pertemuan kembali dengan Ami masih terekam dalam memori. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang sebagai penutup kisah. Mungkin masa lalu tidak akan pernah bisa untuk dilupakan dan tidak perlu dilupakan. Yeah!  You may not be able to forget but you have to move on. Seiring berjalannya waktu, aku akan menemukan cinta baru. Sama seperti Ami. Cinta yang akan kutawari masa depan yang mungkin masih jauh dari kata sempurna karena memang tidak ada yang sempurna. Ini adalah pelajaran buatku bahkan buat Ami juga. It's hurts to love someone and not be loved. But, what is painful is to never have the courage to let that person know how you feel.

"Hey! Bengong aja. Kita udah sampai nih. Sampai kapan mau bengong dalam mobil? Yang lain udah pada turun," Suara Razsya mengusikku. Bergegas aku turn dari mobil dan membuntut di belakang teman-teman kantor yang berjalan masuk ke dalam gedung resepsi. Setelah menyerahkan kado dan mengisi buku tamu, kami segera menuju pelaminan untuk bersalaman dan memberikan selamat. Beberapa teman bahkan sempat menoyor kepala Toni. Saat tiba giliranku menyalami mempelai wanitanya, aku terkejut begitu juga sang mempelai yang tak lain adalah Ami.
"Ami? Toni? Toni... dan Ami?"
Tuhan! Skenario apalagi yang Kau berikan padaku? Aku berusaha tetap tenang walau jantungku berdetak dua kali lipat lebih kencang. Untung saja tak ada satu pun di antara mereka menyadari 'sesuatu' yang terjadi di antaraku dan sang mempelai wanita berbaju putih itu. Rupanya... the most painful thing in the world is to know that someone you love got married with your working partner!

#Harta karun (baca: cerpen ini)  ditulis tanggal 6 Juni 2010 dan baru ditemukan tadi malam. Ngikik sendiri bacanya. Deuh. Alay!










0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang