Wednesday 12 March 2014

Hidupmu Indah

Saya sebenarnya adalah pendengar yang (lumayan) baik. Namun adalakalanya rasa jengkel merasuk ke hati saat lawan bicara mengatakan jika hidupnya selalu susah dan tidak menyenangkan. Tidak seperti saya. Mereka bilang kalau saya adalah orang yang beruntung dan selalu bahagia. Apapun yang saya inginkan pasti akan saya dapatkan. Mereka menyangka hidup saya mulus macam kulit personel Grirl Band Korea.

Saya hanya bisa tersenyum saja sambil berujar dalam hati. Siapa bilang hidup saya mulus? Hidup saya sama rumitnya dengan mereka. Banyak sekali cita-cita yang belum terwujudkan. Banyak sekali kegagalan yang datang. Kalau hidup saya seberuntung dan sebahagia yang mereka pikirikan, mungkin, dulu saat saya di strata satu, saya tidak perlu repot-repot bekerja. Di saat teman-teman lain bersantai di malam hari, saya mengajar les. Di saat teman-teman lain nongkrong di cafe, saya sibuk ngupasin jagung untuk dijual. Kalau hidup saya selalu mulus dan mujur, mungkin sekarang saya sudah kerja kantoran, menikah dengan pria idaman, dan hidup bak di cerita Fairy Tales macam Cinderella. After getting married, you'll live happily ever after. The end! Atau mungkin kini saya sedang menikmati indahnya belajar di strata dua.

Namun hingga detik ini, semuanya belum tercapai. Sedihkanh saya? Tentu saja sedih (pake banget). Irikah saya? Iri banget (pakai tanda tanya seratus biji). Pengen mengeluhkah? (Pengen banget malah. Namun jika dipikir kembali, kenapa harus mengeluh? saya yakin semua ada hikmahnya. Hitung-hitung belajar hidup, belajar bersyukur, belajar menghargai uang, belajar menghargai orang. Lagian, saat ingin mengeluh selalu saja petikan puisi Ibrahim Tauqan, Mikhail Nuaimah, dan nasihat Ustad Budi berkolaborasi di benak saya.

Tauqan menyuruh saya untuk menghapus air mata, bangkit, dan jangan berkelu kesah karena berkelu kesah sejatinya adalah sifat para pemalas. Mikhail Nuaimah sering kali berbisik agar saya selalu melihat alam di sekitar saya agar saya selalu merasa beruntung dan kaya karena rembulan, gemintang, dan bebungaan adalah milik kita. Suara Ustad Budi masih terngiang dan terdengar lantang. La Tataawwah! Jangan mewngeluh! You can if you think you can.

Kalau dipikir-pikir kenapa harus mengeluh dan menganggap diri kita adalah orang yang paling sial di planet bumi ya? Lagian, tidak ada manfaatnya kalau hanya mengeluh dan mengeluh. Waktu habis tanpa menghasilkan apa-apa. Lebih baik tetap berpikir positif agar kita selalu terpacu untuk berusaha. Lebih baik tetap tersenyum daripada bermuram durja. Hitung-hitung ibadah juga.

Inilah proses hidup. Tiap orang memiliki proses yang berbeda. Ada yang mulus kayak jalanan di Putera Jaya. Ada yang macet kayak jalanan di Jakarta. Semua butuh proses walau kadang kita sering kali meremehkannya. Kebanyakan pengen instan. Well! Ibaratnya makan Mangga yang matang di pohon dan Mangga karbitan. Mana yang lebih enak? Tentu saja Mangga yang melalu proses di pohon bukan? Jadi, nikmati saja prosesnya. Rasakan saja seluruh duka, kepahitan, dan kesedihan saat kita berproses karena sejatinya manusia tidak akan pernah merasakan kebahagiaan jika tidak pernah merasakan kesedihan. So apakah masih ingin mengeluh?

2 komentar:

  1. hidup yang "sawang sinawang" bikin orang kadang tertipu dengan org lain, dirinya melihat kehebatan org lain yang parahnya disikapi dg sikap iri, meremehkan dan lain-lain. kalo sawang sinawang yg menghasilkan energi positif untuk membangun kinerja positif itu malah bagus tentunya tanpa dengan mencela org lain.

    ReplyDelete
  2. sawang sinawang? Hmm kosa kata baru ini. Thanks

    ReplyDelete

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang