Friday 14 May 2010

(cerpen belum ada judul-settingnya ambil moskow kayak setting Bumi Cinta Kang Abik)

Untittled


Angin sore berhembus sepoi-sepoi membelai lembut rambut panjangku. Bunga-bunga bermekaran indah menyambut sore di musim semi ini. Aku berdiri tegak sambil memperhatikan Farhan, anak laki-lakiku, yang sedang asyik melihat gerombolan burung-burung merpati di lapangan. Sore ini aku mengajaknya jalan-jalan ke Lapangan Merah Moskow yang masyhur. Lapangan ini terletak di pusat kota serta dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua nan eksotik. Ketika musim semi tiba, banyak orang yang berjalan-jalan di lapangan ini. Di sebuah sudut lapangan, aku melihat seorang pengantin pria menggendong mesra pengantin wanitanya. Yah, memang begitulah tradisi di kota ini. Sudah lima tahun lamanya aku merantau ke kota termahal di dunia ini dengan alasan yang menurut sebagian orang tidak logis. Alasan cinta. Tiba-tiba angan-anganku melayang jauh ke sebuah kota di Indonesia.
***
Hujan lebat membasahi seluruh kota Jogja. Aku duduk di sebelahnya dan memandangi wajah hitam manisnnya yang tampan. Tiba-tiba, dia menghadap ke wajahku dan berkata,”Fi, hujan-hujan gini, enaknya ngapain ya?”Aku tersentak dan tersenyum kikuk,”Hmm..kayaknya enak banget kalo makan mi rebus Burjo.hehehe....”Dia ikut tertawa dan seraya berkata,”Hujan-hujan gini enaknya duduk sambil memandangi hujan yang turun dari langit. Rasanya damai sekali.” Aku mengangguk dan lalu berkata”Tumben! Anak Arsitektur bisa puitis juga. Ngalah-ngalahin anak Sastra aja!” Kami berdua lantas tertawa terbahak-bahak bersamaan. Betapa indahnya persahabatan.
Sudah dua tahun aku berteman dengannya. Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah acara alumni SMAku. Dia seniorku dulu ketika SMA dan tak disangka kami melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama di kota ini. Banyak hal-hal yang aku lakukan bersamanya. Mulai dari berdiskusi tentang berbagai macam hal sampai sekedar jalan-jalan atau nonton di bioskop. Aku sangat menikmati hari-hari bersamanya. Hari-hariku sangat ceria dan aku sangat bahagia menjadi sahabatnya. Tapi kebahagian itu lenyap ketika aku menyadari bahwa aku telah jatuh hati untuk pertama kalinya sepanjang hidupku kepadanya. Aku tetap menyembunyikan rasaku ini darinya. Aku takut rasa cinta ini akan merusak persahabatan kami kelak. Biarlah rasa ini aku pendam dalam hatiku saja. Hari-demi hari terus berlalu tanpa henti sampai suatu ketika dia wisuda dan akan meninggalkan kota ini. Dia berniat untuk merantau ke pulau sebrang. Aku mengantarkannya sampai bandara kota ini. Hatiku sedih karena akan berpisah dari sahabatku itu, tetapi aku tak mau memperlihatkan kesedihanku padanya. Betapa aku ingin mengatakan semua yang aku rasakan padanya tapi mulutku tak mampu berbicara.
Setelah kepergiannya, aku menyibukkan diriku dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler di kampus agar aku bisa melupakannya dan melupakan kenangan-kenangan masa lalu itu. Suatu ketika, aku mendapat kiriman surat yang berisi undangan pernikahannya. Hatiku hancur dan porak poranda seperti gempa yang memporak porandakan kampung halamanku dulu. Cintaku bertepuk sebelah tangan...Aku lebih bertekad lagi untuk melupakannya dengan belajar lebih giat sampai aku mendapatkan beasiswa ke GUM, Moskow. Akhirnya aku menetap disini, bekerja, dan bertemu dengan Andri, suamiku yang telah meninggal setahun yang lalu.
***
Matahari senja mulai meniggalkan sisa-sisa warna jingganya di langit kota Moskow. Aku memanggil Farhan yang masih berkutat dengan gerombolan merpati itu. ”Farhan! Kita pulang, yuk!” kataku sambil melambaikan tangan kepadanya. Walaupun kami menetap di luar negeri, Aku dan Andri selalu membiasakan Farhan untuk berbicara bahasa Indonesia. Farhan berlari-lari kecil ke arahku dan aku menggenggam tangan pangeran kecilku itu. Matanya yang bulat masih melihat kagum ke Kremlin, istana kenegaraan Rusia.
”Bunda, kita mau kemana? Ayah sudah pulang dari kantor belum ya, Bun?” tanya Farhan polos dengan suara cadelnya. Aku melirik ke arahnya dengan sedih. Kasihan Farhan, dia belum mengerti bahwa ayahnya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan gemas sambil menutupi rasa sedihku tanpa melihat suasana yang ramai di sekitarku.
”Dug” Tiba-tiba tanpa sengaja pundakku menyenggol pundak seorang pria. Ups!! I’am sorry, Mister. Dari tinggi badannya, aku yakin bahwa pria yang aku tabrak itu adalah orang Asia. Lalu aku melihat ke arah wajahnya. Aku memperhatikan rambut dan wajahnya. Rambut pria itu disisir rapi berbelah pinggir. Wajahnya keras seperti wajah lelaki Jawa. ”Deg” tiba-tiba jantungku berdetak. Aku sangat mengenali wajah itu. Semuanya masih sama kecuali kaca mata minus bergaya trendy yang bertengger di hidungnya. Itu wajah sahabatku.”Kak Dimas! Fi!” Sahut kami berbarengan dan Dimas memandangi anak laki-laki kecil di sampingku.
***
Setelah selesai menjalankan ibadah shalat Magrib di sebuah pojokan kecil lapangan merah, Kak Dimas, aku, dan Farhan menuju ke Kataigorod di sebrang lapangan merah. Kak Dimas mengajak kami ke sebuah cafe untuk makan malam. Kami bercakap-cakap dan saling berbagi perjalanan hidup kami selama kami berpisah. Kak Dimas ternyata masih seperti dulu, suka menyayangi anak-anak. Dia langsung akrab dengan Farhan. Dari ceritanya, aku mengetahui bahwa sekarang Kak Dimas bekerja di sebuah biro Arsitektur terkenal di kota ini. Dia bekerja dengan arsitek-arsitek handal dari berbagai negara di biro itu. Ternyata, salah satu mimpinya untuk melancong ke negeri Beruang Merah ini kesampaian juga. Kisah cintaku dan kisah cintanya tak terlalu berbeda. Yang membedakan hanya aku ditinggalkan suamiku ke alam baka sedangkan dia meninggalkan istrinya karena perbedaan prinsip.
Malam semakin larut, Farhan sudah terlelap di pangkuanku. Aku dan Kak Dimas hanya berdiam diri saja di dalam Peugeutnya. Suara jangkrik di luar jendela mobil bersahut-sahutan seakan menggoda keheningan yang terjadi di antara kami. Sebenarnya tadi aku bersikeras untuk pulang menggunakan metro bawah tanah, tetapi Kak Dimas memaksa untuk mengantarkanku pulang ke apartemenku.
Setelah sampai di depan apartemen, aku menggendong Farhan dn bersiap-siap turun dari mobil itu. Kak Dimas ternyata telah membukakan pintu mobil untukku. Aku turun dan mengucapkan terima kasih banyak kepadanya. Aku berbalik menuju pintu apartemenku. ”Fi! Tunggu!” teriak Kak Dimas dari belakangku. Aku berbalik ke arahnya dan dia melakukan apa yang pernah dia lakukan dulu padaku saat pertama kali bertemu. ”Fi, aku minta nomor handphonemu, boleh?”. Aku mangangguk dan bibirku menyebutkan angka-angka nomor handphoneku.
***
Setelah kejadian tak terlupakan malam itu, kini aku menjalani hari-hariku dengan Farhan dan juga Kak Dimas. Saat weekend, kami bertiga berjalan-jalan di sekitar lapangan merah dan menikmati keindahan arsitektur katerdal Saint Basil yang kubahnya seperti es krim cone warna-warni menurut Farhan. Terkadang kami mengunjungi obyek-obyek wisata di Moskow dengan menggunakan metro bawah tanah.
Aku teringat lagi akan masa-masa indah dulu yang telah aku kubur dalam-dalam. Aku membiarkan ingatan itu menggentayangiku lagi. Kak Dimas masih sama seperti dulu. Dia masih suka menerangkan tentang keindahan dan tetek bengek yang menyangkut dengan arsitektur. ”Tau gak Fi? Stasiun di Moskow tuh adalah stasiun terindah di dunia. Lihat aja ornamen-ornamen yang indah di dindinng dan kubahnya. Stasiun ini didesain sama arsitek yang kalo gak salah namanya Shchusev. Gitu loh Fi!” pejelasannya panjang lebar ketika kami sedang menunggu metro di stasiun Komsomolskaya. Sebenarnya aku telah mengetahui hampir semua seluk beluk kota Moskow ini karena pekerjaanku di KBRI untuk Rusia yang dituntut untuk tahu seluk beluk kota ini, tetapi aku tetap menghargai dan membesarkan hatinya.
***
Hari ini suhu kota Moskow panas. Aku mengurangi suhu AC di dalam ruang kerjaku sambil tetap menerima telepon dari mama dan papa di Indonesia. Mama memintaku pulang ke Padang karena mama dan papa sangat merindukan Farhan, cucu mereka satu-satunya. Setelah menerima panggilan dari mama, handphoneku berbunyi lagi. Ternyata ada panggilan masuk. ”Hmm...dari Kak Dimas...”gumamku dalam hati. Aku sambar handphoneku dan aku terima panggilannya.
***
Aku berlari-lari kecil di pelataran Masjid Biru Moskow itu dan menghampiri sebuah bangku taman. Disana aku melihat pria yang sudah tak asing lagi. Siang itu, Kak Dimas tampak cerah sekali dengan kemeja biru mudanya. Dia tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Aku mendekatinya dan duduk di bangku sebelahnya. Mataku menari-nari melihat pemandangan pelantaran masjid biru yang hijau ini. Tiba-tiba mataku berhenti di wajahnya dan aku terdiam.
”Fi! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya dari jaman kita dulu kuliah sampai saat ini masih aku pendam. Dulu aku gak bisa mengatakannya karena aku takut apa yang akan aku katakan bisa merusak persahabatan kita. Fi...Aku cinta padamu, maukah kau menikahiku (mas ato’ maap ya pake bhs indonesia dulu, ntar nyari bhs rusianya, kalo bisa, dulu hehe).
Aku terperangah mendengar kata-katanya. Suaraku tiba-tiba tercekat di tenggorokanku, tetapi aku mengangguk tanda menyetujui. Dalam hati, aku bahagia karena ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan dan aku bisa memberi seorang ayah kepada jagoan kecilku, Farhan. Sedangkan Andri masih tetap abadi dalam hatiku dan Farhan. Masjid Biru menjadi saksi kebahagianku saat ini. Kubahnya yang biru bertambah cerah dalam pandangan mataku.

cerpen pertama yang aku post ke blog (tugas kuliah nih)

NANDITA DAN GEMPA


Matahari tersenyum dan burung-burung riang berterbangan di langit menyambut pagi nan cerah ini. Anak-anak sekolah bercanda tawa dan bernyanyi ceria di pinggir jalan raya. Nampaknya pagi ini sangat cerah dan ceria, tapi hati Nandita tak seceria dan secerah pagi ini. Nandita berjalan kesal di jalan setapak menuju sekolah sambil menendang kerikil-kerikil kecil. Nandita kesal sekali dengan kedatangan kakak satu-satunya dari tanah rantau, Jogjakarta. Nandita merasa seluruh perhatian dan kasih sayang mama papa tercurah kepada sang kakak, Nanditi.
Semenjak Nanditi pulang, mama selalu memasak masakan kesukaan Nanditi atau membelikan Nanditi baju. Papa juga sering memberi Nanditi uang. Padahal Nanditi hanya menghabiskan waktunya di rumah dan itu semua tidak membutuhkan uang. ”Pa, kenapa sich kak Diti dikasih uang jajan tiap hari? Padahal khan kak Diti di rumah aja.” Protes Nandita pada papa tadi pagi. ”Khan kamu juga papa kasih, Dita. Lagian kak Diti hanya pulang ke Padang sekali-sekali. Gak salah khan kalo kak Diti juga menikmati liburannya?” Jawab papa santai sambil menikmati kopi buatan mama. Nandita mendengus kesal dan langsung berangkat ke sekolah tanpa salam kepada papa apalagi kepada mama dan Nanditi. Hari ini, bertambah besarlah kebencian dan kekesalan Nindita kepada papa dan mama.
***
Siang itu suhu kota Padang sangat panas. Nandita dan sahabatnya, Tiwi, keluar halaman sekolah, mereka kemudian menuju kantin sekolah dan membeli dua cup jus semangka. ”Dit, Dita kenapa sih hari ini mukanya ditekuk gitu?” Tanya Tiwi sahabatnya. Nandita berhenti menyeruput jusnya dan menjawab, ”Aku sebel sama papa dan mama. Papa dan mama sekarang lebih sayang sama Nanditi. Aku benci sama papa apalagi sama mama yang selalu membela dan memanjakan Nanditi.” Nanditi? Nanditi itu khan kakak kamu yang sedang kuliah di Jogja? Kok kamu memanggilnya tanpa sebutan kak atau uni atau apalah?”Tanya Tiwi kembali. ”Sudahlah Tiwi...Jangan tanyakan aku kenapa aku memanggilnya Nanditi saja. Yang penting, saat ini aku benci dan kesal dengan papa dan mama.”Jawab Nandita sambil mendengus kesal.”Nggak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya, Dit! Kamu hanya berburuk sangka kepada mama dan papamu.” Ujar Tiwi. ”Uhhggt....Sudahlah Tiwi, aku mau pulang, aku mau pergi les Biologi di NF.” Nandita langsung meninggalkan Tiwi yang mungkin kesal karena sikapnya itu.
Tidak biasanya Nandita seperti ini kepada Tiwi. Mungkin karena Nandita sedang merasa kesal dan marah. Dalam hati, Nandita menuduh papa dan mama sebagai penyebab sikap kasarnya terhadap Tiwi barusan. Hati Nindita bertambah panas sepanas suhu kota Padang siang itu. Nandita tak peduli dengan teriknya matahari siang. Dia terus melangkahkan kakinya menuju rumah dengan tetap membawa segunug kekesalan dan kemarhan kepada papa dan mama.
Akhirnya Nandita tiba di rumah. Nandita masuk ke dalam rumah dan menemukan keadaan rumah yang kosong. Semenjak kedatangan Nanditi, rumah itu tak pernah kosong.Nanditi selalu menyambut Nandita pulang sekolah. Nandita mencari kakaknya itu ke kamar belakang. Biasanya, pada siang hari Nanditi tengah asyik menyetrika baju disana, tetapi Nandita tidak menemukannya. Nandita menyusuri ruang keluarga, dia melihat neneknya tengah asyik menonton siaran TVRI Padang. ”Nek, kak Diti kemana?” Tanya Nandita pada nenek. Nenek membetulkan kaca matanya dan menjawab, ”tadi mama mengajak kak Diti ke pasar. Kayaknya mau beli bahan makanan untuk dibawa ke Jogja besok.”
”Ughhtt....lagi-lagi mama lebih memperhatikan Nanditi. Pasti di pasar mama membelikan Nanditi baju yang banyak dan bagus-bagus.” Gumam Nindita dalam hatinya yang semakin kesal dan marah. Nandita beranjak ke kamarnya dan bersiap pergi ke tempat lesnya.
***
Nandita turun dari angkot yang membawanya ke tempat les. Nandita berlari-lari kecil memasuki gedung tempat les pelajaran Biologinya. Nandita menyapa beberapa teman-temannya yang sudah duduk manis di dalam. Kemudian Nandita mencari bangku yang masih kosong dan mendudukinya. Nandita mulai membuka buku modul dan membaca halaman demi halaman sambil menunggu tentor Biologinya masuk.
”Selamat siang adik-adik! Bagaimana kabarnya? Sudah siap untuk memulai pelajaran kita hari ini?” Suara kak Dimas, tentor Nandita, mengejutkan orang-orang yang berada di dalam kelas. ”Sudah Kak” Sahut Nandita dan teman-temannya. ”Oke! Sekarang silahkan buka halaman dua puluh................................”
Drrrrrrrrtttttttt.....Tiba-tiba Nandita dan teman-temannya merasakan getaran yang lama-lama bertambah dahsyat. Kaca-kaca jendela pecah berkeping-keping, lampu-lampu kelas bergoyang kesana-kemari. ”Gempa! Gempa! Cepat keluar!” Teriak orang-orang di dalam gedung. Nandita panik bukan main. Nandita berusaha keluar dari dalam gedung tetapi dia jatuh dan terjatuh lagi karena getaran gempa yang maha dahsyat itu. Meja dan kursi yang berjatuhan menghambat Nandita dan beberapa orang temannya keluar dari kelas itu. Nandita mencoba berdiri lagi untuk menyelamatkan dirinya. Setelah bisa berdiri kembali Nandita mencoba berlari walaupun gempa masih menggetarakan gedung itu.
Akhirnya Nandita berhasil mencapai pintu utama gedung dan keluar dari dalam gedung yang telah berantakan itu. Nandita melihat kekacauan di luar gedung. Tanah dan jalanan merekah mengeluarkan air dan lumpur hitam panas. Pohon-pohonpun bayak yang tumbang akibat guncangan genpa yang dahsyat itu. ”Tsunami...! Ada Tsunami!” teriak orang-orang yang panik di luar gedung. Nandita panik dan mencari angkot yang bisa membawanya menuju rumah atau membawanya ke tempat yang aman. Sudah sekian kali Nandita dan beberapa teman-teman lesnya mencoba menghentikan angkot dan mobil yang melaju tetapi tak ada yang sudi memberikan tumpangan kepada mereka.Nandita berjalan pasrah di tengah-tengah kekacauan itu. Pasrah akan nasib selanjutnya. Pasrah apabila Tuhan akan mengambil nyawanya lewat bencana alam ini. Nandita tiba-tiba menangis teringat akan kata-kata kasarnya dan buruk sangkanya terhadap mama, papa, dan Nanditi.
”Ditaaaaaaaa.....” Nandita tiba-tiba mendengar namanya dipanggil di tenga hiruk pikuk orang yang tengah menyelamatkan diri. Nandita langsung mengedarkan pandangannya mencari sumber suara yang memanggilnya. Nandita melihat sebuah mobil kijang Innova hitam milik om War, pamannya. Dari jendela mobil itu, Nandita melihat mama menangis dan berteriak memangil-manggil namanya. Nandita langsung berlari menuju mobil itu. Nandita menyebrangi jalan yang penuh sesak oleh berbagai macam kendaraan dengan hati-hati dan akhirnya Nandita naik ke atas mobil.
Di dalam mobil Nandita melihat papa, mama, nenek, tante Res, dan om War. Mama langsung memeluk Nandita erat-erta sambil menangis demikian juga papa serta Nanditi. Rupanya setelah gempa mengguncang kota itu, mama dan papa bersikeras mencari Nandita sampai bertemu sebelum menyelamatkan diri ke bukit.
Dalam hati Nandita malu dan menyesal karena selama ini telah membenci dan berburuk sangka kepada orang-orang di sekitarnya. Nandita kini sadar bahwa banyak yang memperhatikan dan menyayangi dirinya. Gempa itu benar-benar menyadarkannya.

Monday 19 April 2010

kejam

12Maret 2010
23:33
Menjelang pergantian hari.....
Hmmm.....masih bertemu dengan hari yang melelahkan tapi mengasyikkanlah. Pagi udah capcuzz ke kampus. Ceritanya mau wawancara ma Pak A-be...tapi...karena perut udah minta haknya, terpaksalah sang kaki berjalan menyusuri bonbin dulu.
Abis tuh lanjut ke jurusan tuk wawancara ma Pak A-be plus ngumpulin tugas komposisi yang bejibun banyaknya. Walau bejibun tetep kudu dikerjainlah bro! Ceritanya mencoba belajar agar gak selalu berkeluh kesah. Hehehehehehe....
Truz cabut ke Parsley mo masukin proposal buat talk show raditya dika. Eh ...gak taunya malah ngiler liat roti kelapa di parsley ^^.uhhhggttt!!! keluar duit lagi deh! Hiks hiks hiks...So ketika masih asyik ngeliatin roti roti nan berjajar rapi menunjukkan keanggunan bentuk mereka, si hapeku bunyi...oh God!!! Ternyata dia lageeeeeeeeeeeee -_-...hellooooo!!! kenapa saat aku sudah bisa untuk melupakan, tuh orang malah muncul???hmmm...tapi biarin ajalah. EGP!!! Yang penting aku hepi dengan kehidupanku sekarang !! wuehehehehe...( ketawa gak jelas ni!! )
Oh ya makin hari tugas kuliah makin mantap aja ( huff!! Ngeluh lagee nich ). Apalagi tugas kelompok. Dari bikin makalah sampe presentasi. Tapi harus dikerjainlah ( lagi rajin hihihi.. ). Tapi aku suka sebel kalo salah satu anak di kelompokku ngomong gini, ” Khan ada Shinta!! Ya udah biar aja Shinta yang ngerjain!!! ”. Grrrrhhhtttttt!!! Belon pernah makan rendang sepatu butut ya?? Ato belon pernah liat macan betina ngamuk ya tuh orang?? Rasanya puengggeeeen buangeeettt..........( pengen ngapain ya?? Bingung sendiri !! ). Pokoknya kata orang jawa itu mangkel.hehehe...Tapi biarlah!!! Aku juga bisa egois. Orang itu egois karena gak mau bantu ngerjain tugas kelompok. Aku juga mau egois karena aku dapetin ilmuya setealah aku jungkir balik ngerjain tugas, so how?? ( Nich Shinta versi kejam ^^ )

masa yang menyenangkan

11 April 2010
22:23
Met Malem diary digitalku....
Sungguh hari yang melelahkan tapi menyenangkan :D. Tapi inilah yang kumau. Menikmati masa-masa seperti ini sebelum masa-masa ini gak bisa kunikmati lagi hehehehe....
Pagi udah ke UIN nemenin anak – anak sastra arab manggung disana. Ceritanya nyibukkin diri jadi official gituh hehehe. Trus siangnya ke rumah epha nemenin epha ngambil transkrip nilai buat sp2mp dan buntutnya....dapat makan siang gratis di rumah epha!! Uhuyy!!! ^^. Maklum anak rantau plus anak kos hohoho...So balik ke kampus lagi coz ada meeting ( beuh!! Meeting?? ) ma pantia talk show raditya dika.
Agak sorean meluncur ke babaran. Ceritanya mau survey tempat magang tapi kayaknya epha ma mimi punya opsi laen. Tapi gak sia sia juga ke penerbitan itu coz keciprtan ilmu juga dan diminta ngajar bahasa Arab. Seneng banget dah!!! Udah lama kagak ngajar nich...kangen juga. Tapi masalahnya Cuma satu : ngajarin bapak – bapak hehehehehehe....but...why no?? ^^
Sore menjelang malam, nongkrong di gelanggang nonton pertandingan futsal. Busyeeeeeeeeettttttttt!!!! Bener – bener kayak orang kesetanan dah!!! Nyanyi – nyanyi nyemangatin tim futsal Sarab! Uhuy!!! Kayaknya bagus tuh kalo Sarab punya tim cheerleader wuakakakakakakakak....( menghayal ceritanya )
Pokoknye walaupun capek dan stress tetep dinikmatin ajalah semuanya. Selagi masih punya waktu, kesempatan dan kesehatan. Hehe...Belon tentu waktu udah kelar kuliah masih bisa kayak gini, betul??

papa j'ime

9 Maret 2010
16:44
Papa...je I’aime
Hujan sore ini deras banget lebih deras dari yang aku bayangkan. Lantai kosan langsung kotor kena aer ujan dan pasir yang berkolaborasi. Huff...handuk satu – satunya ( satu lagi sedang masuk laundry ) juga basah. Tadi kirain hujannya gak sampe jemuran dalam tapi ternyata malah sampe tangga kos kosan. Oh God!! Help me!! Kata orang kalo hari hujan dan petirnya lagi lomba bunyi, kita gak boleh idupin laptop. Tapi kali ini bodo amatlah!!! Panas terik, ujan badai tetep aja mau ngidupin sang lepi buto ijo ini. Udah gak bisa ditahan kesedihan ini. Kemana lagi coba mau tak curahkan kesedihan ini??? Kalo cerita ke temen, gak enak ma mereka coz mereka juga punya masalah sendiri khan?? Koq aku malah menambahkan masalah mereka. Lagian kalo aku cerita trus bablas nangis bombay, ugghhtt!! Gengsi donk!! Gak bangetlah.
Aku khawatir banget soalnya papa lagi sakit sejak hari Ahad kemaren. Tensi papa naek trus gak nafsu makan. Kata tante kayaknya stress tapi gak tau kenapa papa stress mungkin kerjaan kantor. Papa emang pendiem orangnya jadi jarang cerita apalagi kalo ngobrol cuma lewat telpon. Kalo lagi jauh sama orang tua kayak gini lebih sering komunikasi sama mama tapi kalo lagi di rumah baru deh deketnya sama papa.
Papa!!! Andaikan kau tau, aku disini sangat mengkhawatirkanmu. Aku memikirkanmu Pa!. Hiks...Mulai nangis bombay deh ni!!! ( untung gak da yang lihat ). Tapi aku gak bisa berbuat apa – apa. Aku cuma bisa berdoa supaya papa cepet sembuh seperti sedia kala. Amin...Seandainya aku bisa pulang ke Padang, mungkin aku udah pulang sekarang. Tapi apalah daya??

sekedar mengenang pristiwa gempa

Malam minggu 6 Maret 2010
11:00

Dear all!!!!!!!!!!
Pa kabar dunia???? Tetep asyik khan?? ^ ^. Akhirnya ketemu lagi ma hari sabtu yang menyenangkan ini. Sehari dalam seminggu dimana otak bisa melupakan sejenak tugas – tugas kuliah yang makin tambah semester makin mantap :p ini. Hari sabtu yang menyenagkan buat melakukan rutinitas mingguan. Apalagi kalo bukan HARBUNAS hehehe...So dilanjutkan dengan baca novel The Lost Symbol yang udah aku cuekin seminggu lebih ini.
Malamnya aku memutuskan untuk nyicil tugas kuliah. Yah...nyicil dikit – dikitlah...khan kata pepatah sedikit demi sedikit lama – lama jadi bukit. Hehe...bukan Cuma ngumpulin duit doank yang sedikit demi sedikit, tugas kuliah juga tuh ! hihihi...
Kalo lagi sendiri gini, inget lagi sama kejadian gempa itu. Masih keinget jelas guncangan gempa yang keras banget itu. Masih keinget teriakan mama yang panik karena adek sama papa belum pulang ke rumah. Masih inget jelas ketika aku liat tanah – tanah kebelah dua dan ngeluarin lumpur panas. Masih inget ketika ngungsi ke bukit takut kalo ada tsunami. Masih inget ketika dalam mobil aku lihat para pejalan kaki berdesak – desakkan di antara mobil dan motor untuk menyelamatkan diri juga. Aku masih ingat ketika aku lihat seorang wanita berlari tanpa sendal sambil menggendong baik kecilnya. Tuhan!!!!!!!!!! Aku ingin menaikkannya ke atas mobil tapi apa daya...mobil kami sudah penuh sesak. Dan kami masih stress karena saat itu dua anggota keluarga kami belum bersama kami.
Aku masih ingat semuanya. Masih gamang kalo mengingatnya. Sampai malam ini dan apalagi kalo sedang sendiri....Ya Allah lindungilah keluargaku di Padang......................
 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang