Friday 14 May 2010

(cerpen belum ada judul-settingnya ambil moskow kayak setting Bumi Cinta Kang Abik)

Untittled


Angin sore berhembus sepoi-sepoi membelai lembut rambut panjangku. Bunga-bunga bermekaran indah menyambut sore di musim semi ini. Aku berdiri tegak sambil memperhatikan Farhan, anak laki-lakiku, yang sedang asyik melihat gerombolan burung-burung merpati di lapangan. Sore ini aku mengajaknya jalan-jalan ke Lapangan Merah Moskow yang masyhur. Lapangan ini terletak di pusat kota serta dikelilingi oleh bangunan-bangunan tua nan eksotik. Ketika musim semi tiba, banyak orang yang berjalan-jalan di lapangan ini. Di sebuah sudut lapangan, aku melihat seorang pengantin pria menggendong mesra pengantin wanitanya. Yah, memang begitulah tradisi di kota ini. Sudah lima tahun lamanya aku merantau ke kota termahal di dunia ini dengan alasan yang menurut sebagian orang tidak logis. Alasan cinta. Tiba-tiba angan-anganku melayang jauh ke sebuah kota di Indonesia.
***
Hujan lebat membasahi seluruh kota Jogja. Aku duduk di sebelahnya dan memandangi wajah hitam manisnnya yang tampan. Tiba-tiba, dia menghadap ke wajahku dan berkata,”Fi, hujan-hujan gini, enaknya ngapain ya?”Aku tersentak dan tersenyum kikuk,”Hmm..kayaknya enak banget kalo makan mi rebus Burjo.hehehe....”Dia ikut tertawa dan seraya berkata,”Hujan-hujan gini enaknya duduk sambil memandangi hujan yang turun dari langit. Rasanya damai sekali.” Aku mengangguk dan lalu berkata”Tumben! Anak Arsitektur bisa puitis juga. Ngalah-ngalahin anak Sastra aja!” Kami berdua lantas tertawa terbahak-bahak bersamaan. Betapa indahnya persahabatan.
Sudah dua tahun aku berteman dengannya. Pertama kali aku bertemu dengannya di sebuah acara alumni SMAku. Dia seniorku dulu ketika SMA dan tak disangka kami melanjutkan ke perguruan tinggi yang sama di kota ini. Banyak hal-hal yang aku lakukan bersamanya. Mulai dari berdiskusi tentang berbagai macam hal sampai sekedar jalan-jalan atau nonton di bioskop. Aku sangat menikmati hari-hari bersamanya. Hari-hariku sangat ceria dan aku sangat bahagia menjadi sahabatnya. Tapi kebahagian itu lenyap ketika aku menyadari bahwa aku telah jatuh hati untuk pertama kalinya sepanjang hidupku kepadanya. Aku tetap menyembunyikan rasaku ini darinya. Aku takut rasa cinta ini akan merusak persahabatan kami kelak. Biarlah rasa ini aku pendam dalam hatiku saja. Hari-demi hari terus berlalu tanpa henti sampai suatu ketika dia wisuda dan akan meninggalkan kota ini. Dia berniat untuk merantau ke pulau sebrang. Aku mengantarkannya sampai bandara kota ini. Hatiku sedih karena akan berpisah dari sahabatku itu, tetapi aku tak mau memperlihatkan kesedihanku padanya. Betapa aku ingin mengatakan semua yang aku rasakan padanya tapi mulutku tak mampu berbicara.
Setelah kepergiannya, aku menyibukkan diriku dengan berbagai kegiatan ekstrakulikuler di kampus agar aku bisa melupakannya dan melupakan kenangan-kenangan masa lalu itu. Suatu ketika, aku mendapat kiriman surat yang berisi undangan pernikahannya. Hatiku hancur dan porak poranda seperti gempa yang memporak porandakan kampung halamanku dulu. Cintaku bertepuk sebelah tangan...Aku lebih bertekad lagi untuk melupakannya dengan belajar lebih giat sampai aku mendapatkan beasiswa ke GUM, Moskow. Akhirnya aku menetap disini, bekerja, dan bertemu dengan Andri, suamiku yang telah meninggal setahun yang lalu.
***
Matahari senja mulai meniggalkan sisa-sisa warna jingganya di langit kota Moskow. Aku memanggil Farhan yang masih berkutat dengan gerombolan merpati itu. ”Farhan! Kita pulang, yuk!” kataku sambil melambaikan tangan kepadanya. Walaupun kami menetap di luar negeri, Aku dan Andri selalu membiasakan Farhan untuk berbicara bahasa Indonesia. Farhan berlari-lari kecil ke arahku dan aku menggenggam tangan pangeran kecilku itu. Matanya yang bulat masih melihat kagum ke Kremlin, istana kenegaraan Rusia.
”Bunda, kita mau kemana? Ayah sudah pulang dari kantor belum ya, Bun?” tanya Farhan polos dengan suara cadelnya. Aku melirik ke arahnya dengan sedih. Kasihan Farhan, dia belum mengerti bahwa ayahnya telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Aku menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan gemas sambil menutupi rasa sedihku tanpa melihat suasana yang ramai di sekitarku.
”Dug” Tiba-tiba tanpa sengaja pundakku menyenggol pundak seorang pria. Ups!! I’am sorry, Mister. Dari tinggi badannya, aku yakin bahwa pria yang aku tabrak itu adalah orang Asia. Lalu aku melihat ke arah wajahnya. Aku memperhatikan rambut dan wajahnya. Rambut pria itu disisir rapi berbelah pinggir. Wajahnya keras seperti wajah lelaki Jawa. ”Deg” tiba-tiba jantungku berdetak. Aku sangat mengenali wajah itu. Semuanya masih sama kecuali kaca mata minus bergaya trendy yang bertengger di hidungnya. Itu wajah sahabatku.”Kak Dimas! Fi!” Sahut kami berbarengan dan Dimas memandangi anak laki-laki kecil di sampingku.
***
Setelah selesai menjalankan ibadah shalat Magrib di sebuah pojokan kecil lapangan merah, Kak Dimas, aku, dan Farhan menuju ke Kataigorod di sebrang lapangan merah. Kak Dimas mengajak kami ke sebuah cafe untuk makan malam. Kami bercakap-cakap dan saling berbagi perjalanan hidup kami selama kami berpisah. Kak Dimas ternyata masih seperti dulu, suka menyayangi anak-anak. Dia langsung akrab dengan Farhan. Dari ceritanya, aku mengetahui bahwa sekarang Kak Dimas bekerja di sebuah biro Arsitektur terkenal di kota ini. Dia bekerja dengan arsitek-arsitek handal dari berbagai negara di biro itu. Ternyata, salah satu mimpinya untuk melancong ke negeri Beruang Merah ini kesampaian juga. Kisah cintaku dan kisah cintanya tak terlalu berbeda. Yang membedakan hanya aku ditinggalkan suamiku ke alam baka sedangkan dia meninggalkan istrinya karena perbedaan prinsip.
Malam semakin larut, Farhan sudah terlelap di pangkuanku. Aku dan Kak Dimas hanya berdiam diri saja di dalam Peugeutnya. Suara jangkrik di luar jendela mobil bersahut-sahutan seakan menggoda keheningan yang terjadi di antara kami. Sebenarnya tadi aku bersikeras untuk pulang menggunakan metro bawah tanah, tetapi Kak Dimas memaksa untuk mengantarkanku pulang ke apartemenku.
Setelah sampai di depan apartemen, aku menggendong Farhan dn bersiap-siap turun dari mobil itu. Kak Dimas ternyata telah membukakan pintu mobil untukku. Aku turun dan mengucapkan terima kasih banyak kepadanya. Aku berbalik menuju pintu apartemenku. ”Fi! Tunggu!” teriak Kak Dimas dari belakangku. Aku berbalik ke arahnya dan dia melakukan apa yang pernah dia lakukan dulu padaku saat pertama kali bertemu. ”Fi, aku minta nomor handphonemu, boleh?”. Aku mangangguk dan bibirku menyebutkan angka-angka nomor handphoneku.
***
Setelah kejadian tak terlupakan malam itu, kini aku menjalani hari-hariku dengan Farhan dan juga Kak Dimas. Saat weekend, kami bertiga berjalan-jalan di sekitar lapangan merah dan menikmati keindahan arsitektur katerdal Saint Basil yang kubahnya seperti es krim cone warna-warni menurut Farhan. Terkadang kami mengunjungi obyek-obyek wisata di Moskow dengan menggunakan metro bawah tanah.
Aku teringat lagi akan masa-masa indah dulu yang telah aku kubur dalam-dalam. Aku membiarkan ingatan itu menggentayangiku lagi. Kak Dimas masih sama seperti dulu. Dia masih suka menerangkan tentang keindahan dan tetek bengek yang menyangkut dengan arsitektur. ”Tau gak Fi? Stasiun di Moskow tuh adalah stasiun terindah di dunia. Lihat aja ornamen-ornamen yang indah di dindinng dan kubahnya. Stasiun ini didesain sama arsitek yang kalo gak salah namanya Shchusev. Gitu loh Fi!” pejelasannya panjang lebar ketika kami sedang menunggu metro di stasiun Komsomolskaya. Sebenarnya aku telah mengetahui hampir semua seluk beluk kota Moskow ini karena pekerjaanku di KBRI untuk Rusia yang dituntut untuk tahu seluk beluk kota ini, tetapi aku tetap menghargai dan membesarkan hatinya.
***
Hari ini suhu kota Moskow panas. Aku mengurangi suhu AC di dalam ruang kerjaku sambil tetap menerima telepon dari mama dan papa di Indonesia. Mama memintaku pulang ke Padang karena mama dan papa sangat merindukan Farhan, cucu mereka satu-satunya. Setelah menerima panggilan dari mama, handphoneku berbunyi lagi. Ternyata ada panggilan masuk. ”Hmm...dari Kak Dimas...”gumamku dalam hati. Aku sambar handphoneku dan aku terima panggilannya.
***
Aku berlari-lari kecil di pelataran Masjid Biru Moskow itu dan menghampiri sebuah bangku taman. Disana aku melihat pria yang sudah tak asing lagi. Siang itu, Kak Dimas tampak cerah sekali dengan kemeja biru mudanya. Dia tersenyum dari kejauhan dan melambaikan tangannya. Aku mendekatinya dan duduk di bangku sebelahnya. Mataku menari-nari melihat pemandangan pelantaran masjid biru yang hijau ini. Tiba-tiba mataku berhenti di wajahnya dan aku terdiam.
”Fi! Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Aku ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya dari jaman kita dulu kuliah sampai saat ini masih aku pendam. Dulu aku gak bisa mengatakannya karena aku takut apa yang akan aku katakan bisa merusak persahabatan kita. Fi...Aku cinta padamu, maukah kau menikahiku (mas ato’ maap ya pake bhs indonesia dulu, ntar nyari bhs rusianya, kalo bisa, dulu hehe).
Aku terperangah mendengar kata-katanya. Suaraku tiba-tiba tercekat di tenggorokanku, tetapi aku mengangguk tanda menyetujui. Dalam hati, aku bahagia karena ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan dan aku bisa memberi seorang ayah kepada jagoan kecilku, Farhan. Sedangkan Andri masih tetap abadi dalam hatiku dan Farhan. Masjid Biru menjadi saksi kebahagianku saat ini. Kubahnya yang biru bertambah cerah dalam pandangan mataku.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang