Tuesday 22 December 2015

Rasa

Desember pun tiba. Jalanan mulai macet di kota Jogja. Para wisatawan mulai berdatangan dari berbagai penjuru Nusantara bahkan mancanegara. Tiba-tiba kota tercinta ini menjadi lebih ramai, bising, namun juga meriah dan ceria. Terkadang aku bertanya-tanya mengapa manusia berbondong-bondong datang ke Jogja. Bagiku, Jogja bukan hanya destinasi wisata. Bagiku, Jogja adalah kota Istimewa. Kota leluhur ibuku yang setengah darahnya mengalir dalam tubuhku, darah Jawa. Kota dengan orang-orang ramah, sederhana, lagi bersahaja. Kota dimana senyum bisa kau dapatkan dengan cuma-cuma.

Mendung sering kali menggelantung di langit kota Jogja, namun menurutku itulah pesona romantisme Jogja. Hujan, mendung, dingin, dan basah. Setiap akhir tahun sepanjang hidupku di kota ini, aku selalu terlarut dalam suasana romantis nan manis kota Jogja. Dan Desember tahun ini, Tuhan masih memberikanku kesempatan untuk merasakannya dengan hadirnya satu rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Rasa yang hanya dimengerti oleh kau dan aku. Kita.

Entah rasa ini tak bernama... atau aku belum sanggup memberinya sebuah nama? Aku pun tak dapat menerka. Rasa ini melampaui logika. Menelusup ke relung hati begitu saja. Meningkatkan frekuensi detak jantung dua kali lipat lebih cepat, menciptakan senyuman ceria, bahkan mampu menguatkan di saat tak lagi berdaya. Mengapa rasa ini tetap berkeliaran di hati dan pikiran tanpa pernah bertemu raga dan hanya menyapa lewat suara? Apakah ini wajar atau memang aku yang sakit jiwa? Entahlah. Pun aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya bisa mempersembahkann doa-doa pada-Nya. Pada Dia yang menguasai hati manusia. Memohon dan terus memohon... agar raga dapat berjumpa sehingga kita mampu memberi nama pada rasa.... agar mata kita saling bertatapan untuk memberikan jawaban atas semua keraguan di antara kita...




 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang