Sunday 30 September 2012

Horor

"Nonton pilem horor yuk"
Akhirnya hari Sabtu kemaren kami putuskan untuk menyewa kaset di rental depan kos. Nonton pilem horor mungkin adalah salah satu penghilang stres yang murah meriah selain nyetrika dan nyuci (lho?). Murah? Yaiyalah dengan biaya lima ribu rupiah dibagi 6 kepala. Bayangkan aja betapa murahnya. Yup yup. Yang namanya hiburan gak mesti mahal kan. Hehehehe.

"Nonton yang ini aja! Ini serem banget lho kata mbak yang jaga rentalnya"
Karena wajah si pembicara yang meyakinkan, akhirnya kami percaya seratus persen dan segera nonton pilem horor Thailand itu. Namun beberapa menit berlalu, adegan yang menegangkan ternyata tidak terjadi sama sekali. Subtittlenya gak jelas dan ceritanya entah kemana. Yang paling ngaco itu ya tokoh setannya yang kocak. Biasanya dalam pilem horor, tokoh setan suka membunuh tanpa ampun. Tapi, setan di pilem ini, abis bunuh orang malah nyesel dan nangis sejadi-jadinya. Kalo di pilem horor, biasanya kalo setan muncul dan yang liat pada langsung lari terbirit. Kalo di pilem ini, si setan muncul, eh yang liat malah pada ngobrol sama si serannya. Ckckckckckckck. Tapi yang paling lucu adalah adegan setan yang sempet-sempetnya ngulek sambel dan masak makanan untuk suaminya yang notabene masih manusia. Hadeuhhhh... bener-bener deh pilem horor yang satu ini. Bener-bener horor sampe buat yang nonton ngakak-ngakak.

Friday 28 September 2012

Hymne: Nakal Versi Kita

Aku mendengarkan lagi lantunan hymne itu. Alunan musiknya lembut mendayu-dayu di telingaku. Tiba-tiba, satu fase kehidupan itu berputar-putar di kepalaku. Memori itu berkelebat kuat. Celebes, Lamomea, Guest house: kamarku tercinta, bahkan aku ingat Mita, teman senasib, senakal, seperjuangan.

Saat itu, aku telah lulus dari pesantren dan dikirim ke Lamomea untuk mengabdikan diri. Pertama aku ngerasa heran. Heran karena kenapa aku bisa terpilih untuk mengabdi di sana. Padahal tak pernah terpikir olehku akan mengabdi di sana. Well. Semua harus dijalani dan berangkatlah aku ke sana.

Pertama tiba disana, ternyata oh ternyata, namaku tak tercantum. Dan akhirnya, aku ditampung di kamar LAC (Language Advisory Council). Kamar itu terletak di gedung paling pojok dekat hutan dan padang rumput. Dengan badan letih dan mata mengantuk, kami mendorong koper kami menuju gedung itu. Di tengah jalan, tiba-tiba segerombolan babi hutan lewat dengan cueknya. Kami yang baru melihat pemandangan itu shock bukan main.Tapi beberapa hari kemudian, kami tidak shock lagi. Mungkin sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Bahkan waktu berjalan kaki pun, kami (aku dan babi hutan) jalan beriringan dengan damai.

Selang beberapa bulan, aku dipindahkan ke bagian penerimaan tamu. Di kamar baru itu, aku nggak sendiri. Ada seorang lagi yang menjadi partnerku mengurus tempat penerimaan tamu. Sebut saja namanya Mita. Dia teman seangkatanku, namun kami nggak terlalu kenal dekat. Aku pikir, dia anaknya sombong dan hanya mau bergaul dengan mereka-mereka yang levelnya menengah ke atas (baca: kalo nggak cantik, ya modislah, ato duitnya banyak). Ternyata anaknya asyik dan menyenangkan. Berteman dengannya sangat menyenangkan dan seru banget. Oh ya. Kamar kami terletak di sebelah rumah yang sering disebut "Pilus". Tenang! Ini bukan jenis kacang kok. Pilus itu singkatan dari Pila (Vila maksudnya) Ustad. Di sana tinggallah Trio Macan... eh salah. Trio Ustad yang masih lajang-lajang saat itu (sekarang udah pada nikah semua). Kadang kalau ada acara besar, rumah itu penuh dengan ustad-ustad lajang yang datang dari pesantren putranya (Lumayan buat cuci mata aku dan Mita hehe).

Sebagaimana kehidupan di pesantren, banyak sekali peraturan yang harus dijalani. Saat itu, mungkin, aku dan Mita sedang memasuki masa-masa ingin bebas. Dulu, saat kami masih jadi santri, kami harus menjalani peraturan yang sangat ketat. Ketika kami tamat, ternyata kami masih harus berhadapan dengan peraturan lagi, walau peraturan kali ini tidak seketat dulu. Dan jadilah kami dua orang pengajar yang "nakal". Menurut kami, nakal itu ngga masalah sih, asal tidak melewati batas kewajaran dan norma yang berlaku.

Nakal kami sih sepintas pake MP3 saat mengajar atau saat rapat guru. Trus apalagi ya? Oh ya! Dulu kami juga sering kabur ke kota dengan Rambo (mobil pondok yang paling keren). Tentu saja, ini kongkalikong sama penghuni Pilus. Mungkin kami punya banyak kesamaan dan chemistry (ahaii) sebagai anak tiri yang diterlantarkan (maaf cerita tentang ini tidak dapat disampaikan di blog hehe). Jadilah kami sering kongkalikong dengan beliau-beliau itu. Hehe. Pergi ke kota pun, kami nggak ngelakuin apa-apa kok. Paling hanya belanja keperluan bulanan atau cuma makan bakso di bilangan Wua Wua. Paling jauh sih ke Ke-Bi (Kendari Beach) untuk liat-liat pemandangan dan makan sea food.

Kenakalan kami yang palin terbesar kayaknya adalah masalah handphone deh. Di sana, kami ngga boleh punya handphone kecuali pengajar-pengajar yang senior dan tentu saja penghuni Pilus. Suatu hari, Mita punya ide untuk beli handphone dan menyembunyikannya di kamar (untung sekamar cuma berdua. Nggak ada ember bocor soalnya hehe). Singkat cerita, kami berdua punya satu handphone. Handphone 2 in  1 karena sering gonta-ganti kartu. Kadang kartuku, kadang kartu Mita. Handphone itu tidak kami gunakan untuk macam-macam juga sih. Karena handphone itu digunakan untuk menelpon orangtua dan kerabat kami masing-masing. Suatu hari kami singgah ke kamar teman-teman yang lain, ternyata di kamar itu juga penuh dengan handphone berbagai merek. Aku dan Mita hanya senyam-senyum sendiri melihat itu semua.

Suatu malam di hari Kamis perasaanku rasanya ngga enak. Saat itu, nomorku yang sedang aktif. Entah kenapa tanganku mematikan handphone itu dan tidur dengan sukses. Keesokan harinya, setelah mandi plus plus (plus nyuci maksudnya), aku bertandang ke kamar teman-temanku dan di sana ternyata sedang terjadi keributan. Ternyata oh ternyata, handphone mereka disita Bu Nyai saat mereka tidur. Kata mereka Bu Nyai sudah curiga, dan akhirnya tadi malam, beliau nge-misscall satu-satu nomor kami. Dan ternyata nomor-nomor itu aktif semua, kecuali nomorku dan Mita. Aku dan Mita hanya senyam-senyum menyaksikan kehebohan di hadapan kami. Terima kasih, Ya Allah!

Itu nakal versi aku dan Mita di pesantren dulu. Menurutku, nggak masalah kok jadi anak nakal, asal nakalnya masih wajar. Nggak enak juga sih, hidup di pondok itu datar-datar aja. Hidup di sana itu mesti seru dan menantang. Hehe. Life is never flat! Suatu saat, akan kuceritakan kisah ini kepada anakku. Kisah tentang cerita hidup mommy-nya yang menantang. Hehe. To be continued.

Wednesday 26 September 2012

Hymne: Mengingatkanku Tentang Sesuatu

Setelah ngutak-ngatik youtube beberapa menit, aku gak sengaja nemu video yang menampilkan profil  sebuah pesantren dengan backsound hymne "Oh Pondokku". Itu hymne pondok tempat aku nyantri dulu. Biasanya dinyanyiin pas ada apel tahunan ato acara-acara penting di sana. Setelah video habis, aku replay lagi dan dengerin hymne itu sambil merem (gak pake melek) dan ikutan bersenandung juga. Ternyata aku masih hapal sama hymne itu. Padahal hymne kampus aja aku gak hapal sampe aku mau wisuda gini (menyedihkan). Hadeuh jadi terharu banget dan inget sama masa-masa itu, sebuah masa kehidupanku yang seru, lucu, bahagia, meyedihkan, miris. Pokoknya manis, asem, asinlah kayak permen Nano-Nano.

Aku jadi inget hari pertamaku masuk pesantren. Saat itu, aku kasihan liat Mama nganterin dan ngurusin tetek bengek administrasi. Mama pasti capek banget. Bayangin aja! Perjalanan Padang-Jogja ditempuh dalam waktu 4 hari 3 malam dengan menggunakan Bis (dulu belon jaman naek pesawat). Belum lagi perjalanan Jogja ke Ngawi yang pake acara nyasar dulu sampai Ponorogo. Finally dengan gaya sok cool dan berhati besar, aku minta Mama buat pulang aja ke Padang dan bilang kalo aku berani dan mampu di sini sendirian. Akhirnya, dengan berat hati, Mama pulang. Setelah Mama hilang dari padangan, aku langsung ke kamar, ambil handuk dan alat mandi. Lalu masuk kamar mandi dan mandi sambil menangis sejadi-jadinya sampai puas.

Setelah puas dan lega, aku keluar kamar mandi dan masuk kamar. Di sana, aku melihat seorang anak perempuan sebayaku. Namanya Hilda. Asalnya dari Magelang. Dan jadilah Hilda teman pertamaku di pesantren. Saat lulus, kami pun masih bersama untuk mengabdi di Gontor Putri 4 Sulawesi Tenggara.Selesai mengabdi pun, kami sama-sama kuliah di Jogja. Aku di UGM, sedangkan Hilda di MSD. Dan saat ini kabar membahagiakan datang darinya. Hilda hamil. Alhamdulillah... senangnya mendengar kabar itu. Semoga Hilda kelak menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi generasi saleh dan salehah. Amiin.


Tuesday 25 September 2012

Naluri

Aku hanya tersenyum mengingat diriku yang dulu. Ya. Diriku yang punya sejuta cita dan asa. Cita-cita ingin menghabiskan hidup nomaden alias berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain bahkan dari satu negara ke negara lain. Di sana, rasanya aku ingin melihat berbagai keanekaragaman manusia, aku ingin melihat kesenian dari setiap negara, atau ingin mengenal berbagai macam bahasa mereka. Namun, ketika waktu terus bergulir, angan-angan itu hilang begitu saja. Blass. Tak ada lagi yang tersisa. Diplomat, keliling dunia... semuanya lenyap. Ibarat nafsu makan, aku tak punya selera lagi. Aku tak berambisi lagi. Kelak aku ingin berwirausaha agar aku bisa me-manage waktuku sendiri. Ya. Rasanya kelak aku ingin memperhatikan rumah tanggaku. Aku ingin selalu ada dalam setiap fase perkembangan anak-anakku. Aku ingin merawat, menjaga, dan membesarkan mereka dengan tanganku ini.Tuh kan! Semua berubah. Dan mungkin ini adalah naluri setiap perempuan di muka bumi.

Monday 10 September 2012

Bebas

Bebas. Menurut saya bebas bukan berarti melakukan segala sesuatu sesuka kita tanpa batas, tanpa aturan. Bebas tetap ada batasnya dan tetap ada aturannya. Batas dan aturan ini terkadang menjadi kambing hitam bahwa kebebasan itu tak pernah ada. Katanya aturan dan batasan merengut semua kebebasan. Namun, renungkanlah bahwa aturan dan batasan dalam kebebasan merupakan sesuatu yang sangat berarti. Aturan dan batasan ini kelak akan melindungi kita dari marabahaya.Boleh bebas, asal masih dalam batas.


Saturday 1 September 2012

Langkah Pertama

A journey of a thousand miles must begin with a single step
(Lau Tzu)

Langkah pertama adalah langkah yang menjadi penentu langkah selanjutnya. Namun tak jarang langkah pertama itu terasa sangat berat dan sulit. Walau demikian,tetaplah berusaha dan percaya diri agar langkah pertama menjadi nyata. Jangan pernah menyerah!Jangan pernah berkeluh kesah! Langkah pertama adalah langkah penentu.


Petikan semangat kali ini
"Sampai Nanti, Sampai Mati" by Letto

Kalau kau ingin berhenti ingat tuk mulai lagi
Tetap semangat dan teguhkan hati di setiap hari
sampai nanti, sampai mati
Tetap melangkah dan keraskan hati di setiap hari
sampai nanti, sampai mati...

Gubah Lagu

Kata orang, lagu yang kita dengar bisa mempengaruhi kejiwaan kita. Jika lagunya bertema sedih, maka hati kita juga akan ikut sedih. Jika lagunya bikin semangat, maka semangat kita akan terpacu juga. Dan satu lagu yang aku suka adalah lagu Rumor yang berjudul "Butiran Debu". Aku suka musiknya dan suara penyanyinya, namun liriknya bercerita tentang keputusasaan. Agar aku nggak ikut-ikutan putus asa, jadi iseng-iseng aku gubah beberapa petik lirik lagu ini. Biar buat aku optimis.

Aku terjatuh dan tak  namun bisa bangkit lagi
Aku (memang) tenggelam dalam lautan luka dalam
Aku tersesat dan tak pasti akan tahu arah jalan pulang
Aku tanpamu putiran debu BAIK-BAIK SAJA

Dulu memang pernah terjatuh dan tenggelam dalam sakitnya rasa luka. Aku tidak boleh diam dan merasakan rasa sakit itu terlalu lama. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengobati lukaku. Aku harus bangkit. Dan sekarang, inilah aku. Aku tanpamu baik-baik saja.


 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang