Friday 28 September 2012

Hymne: Nakal Versi Kita

Aku mendengarkan lagi lantunan hymne itu. Alunan musiknya lembut mendayu-dayu di telingaku. Tiba-tiba, satu fase kehidupan itu berputar-putar di kepalaku. Memori itu berkelebat kuat. Celebes, Lamomea, Guest house: kamarku tercinta, bahkan aku ingat Mita, teman senasib, senakal, seperjuangan.

Saat itu, aku telah lulus dari pesantren dan dikirim ke Lamomea untuk mengabdikan diri. Pertama aku ngerasa heran. Heran karena kenapa aku bisa terpilih untuk mengabdi di sana. Padahal tak pernah terpikir olehku akan mengabdi di sana. Well. Semua harus dijalani dan berangkatlah aku ke sana.

Pertama tiba disana, ternyata oh ternyata, namaku tak tercantum. Dan akhirnya, aku ditampung di kamar LAC (Language Advisory Council). Kamar itu terletak di gedung paling pojok dekat hutan dan padang rumput. Dengan badan letih dan mata mengantuk, kami mendorong koper kami menuju gedung itu. Di tengah jalan, tiba-tiba segerombolan babi hutan lewat dengan cueknya. Kami yang baru melihat pemandangan itu shock bukan main.Tapi beberapa hari kemudian, kami tidak shock lagi. Mungkin sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Bahkan waktu berjalan kaki pun, kami (aku dan babi hutan) jalan beriringan dengan damai.

Selang beberapa bulan, aku dipindahkan ke bagian penerimaan tamu. Di kamar baru itu, aku nggak sendiri. Ada seorang lagi yang menjadi partnerku mengurus tempat penerimaan tamu. Sebut saja namanya Mita. Dia teman seangkatanku, namun kami nggak terlalu kenal dekat. Aku pikir, dia anaknya sombong dan hanya mau bergaul dengan mereka-mereka yang levelnya menengah ke atas (baca: kalo nggak cantik, ya modislah, ato duitnya banyak). Ternyata anaknya asyik dan menyenangkan. Berteman dengannya sangat menyenangkan dan seru banget. Oh ya. Kamar kami terletak di sebelah rumah yang sering disebut "Pilus". Tenang! Ini bukan jenis kacang kok. Pilus itu singkatan dari Pila (Vila maksudnya) Ustad. Di sana tinggallah Trio Macan... eh salah. Trio Ustad yang masih lajang-lajang saat itu (sekarang udah pada nikah semua). Kadang kalau ada acara besar, rumah itu penuh dengan ustad-ustad lajang yang datang dari pesantren putranya (Lumayan buat cuci mata aku dan Mita hehe).

Sebagaimana kehidupan di pesantren, banyak sekali peraturan yang harus dijalani. Saat itu, mungkin, aku dan Mita sedang memasuki masa-masa ingin bebas. Dulu, saat kami masih jadi santri, kami harus menjalani peraturan yang sangat ketat. Ketika kami tamat, ternyata kami masih harus berhadapan dengan peraturan lagi, walau peraturan kali ini tidak seketat dulu. Dan jadilah kami dua orang pengajar yang "nakal". Menurut kami, nakal itu ngga masalah sih, asal tidak melewati batas kewajaran dan norma yang berlaku.

Nakal kami sih sepintas pake MP3 saat mengajar atau saat rapat guru. Trus apalagi ya? Oh ya! Dulu kami juga sering kabur ke kota dengan Rambo (mobil pondok yang paling keren). Tentu saja, ini kongkalikong sama penghuni Pilus. Mungkin kami punya banyak kesamaan dan chemistry (ahaii) sebagai anak tiri yang diterlantarkan (maaf cerita tentang ini tidak dapat disampaikan di blog hehe). Jadilah kami sering kongkalikong dengan beliau-beliau itu. Hehe. Pergi ke kota pun, kami nggak ngelakuin apa-apa kok. Paling hanya belanja keperluan bulanan atau cuma makan bakso di bilangan Wua Wua. Paling jauh sih ke Ke-Bi (Kendari Beach) untuk liat-liat pemandangan dan makan sea food.

Kenakalan kami yang palin terbesar kayaknya adalah masalah handphone deh. Di sana, kami ngga boleh punya handphone kecuali pengajar-pengajar yang senior dan tentu saja penghuni Pilus. Suatu hari, Mita punya ide untuk beli handphone dan menyembunyikannya di kamar (untung sekamar cuma berdua. Nggak ada ember bocor soalnya hehe). Singkat cerita, kami berdua punya satu handphone. Handphone 2 in  1 karena sering gonta-ganti kartu. Kadang kartuku, kadang kartu Mita. Handphone itu tidak kami gunakan untuk macam-macam juga sih. Karena handphone itu digunakan untuk menelpon orangtua dan kerabat kami masing-masing. Suatu hari kami singgah ke kamar teman-teman yang lain, ternyata di kamar itu juga penuh dengan handphone berbagai merek. Aku dan Mita hanya senyam-senyum sendiri melihat itu semua.

Suatu malam di hari Kamis perasaanku rasanya ngga enak. Saat itu, nomorku yang sedang aktif. Entah kenapa tanganku mematikan handphone itu dan tidur dengan sukses. Keesokan harinya, setelah mandi plus plus (plus nyuci maksudnya), aku bertandang ke kamar teman-temanku dan di sana ternyata sedang terjadi keributan. Ternyata oh ternyata, handphone mereka disita Bu Nyai saat mereka tidur. Kata mereka Bu Nyai sudah curiga, dan akhirnya tadi malam, beliau nge-misscall satu-satu nomor kami. Dan ternyata nomor-nomor itu aktif semua, kecuali nomorku dan Mita. Aku dan Mita hanya senyam-senyum menyaksikan kehebohan di hadapan kami. Terima kasih, Ya Allah!

Itu nakal versi aku dan Mita di pesantren dulu. Menurutku, nggak masalah kok jadi anak nakal, asal nakalnya masih wajar. Nggak enak juga sih, hidup di pondok itu datar-datar aja. Hidup di sana itu mesti seru dan menantang. Hehe. Life is never flat! Suatu saat, akan kuceritakan kisah ini kepada anakku. Kisah tentang cerita hidup mommy-nya yang menantang. Hehe. To be continued.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang