Pagi
itu Kedai Kue Ceria masih tampak sepi pengunjung. Ciara, putri tunggal Bunda
Dewi, sang pemilik toko, tampak sibuk mengelap kaca etalase sambil menata
kembali kue-kue kering yang akan dijual. Ia juga menyisihkan beberapa kotak kue
yang telah dipesan oleh para pelanggan. Hari-hari menjelang Lebaran seperti ini
adalah hari yang sibuk sekaligus hari keberuntungan bagi keluarga Ciara.
Pembeli akan bertambah banyak dan para pelanggan tetap akan memesan kue lebih
banyak dari biasanya.
Di
tengah kesibukannya, diam-diam, sudut mata Ciara menangkap gerak-gerik
seseorang yang tengah memasukkan adonan kental Chocolate Slice Cake ke dalam
beberapa buah loyang yang terlebih dahulu telah dilapisi kertas roti dan
diolesi mentega. Dengan cekatan, jemari kokoh itu meratakan adonan menggunakan
sepatulah plastik. Pekerjaannya nyaris sempurna tanpa ada setitik noda adonan
yang tumpah di atas meja. Beberapa saat kemudian, sosok itu pergi sambil
membawa dua loyang adonan menuju oven yang terletak di sebuah sudut ruangan.
Ciara setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwasannya seorang lelaki terlihat seksi saat
mereka memasak bukan pada saat pamer otot gede dan perut six pack di kontes
sebuah produk susu.
Bang
Ailul. Itulah panggilan yang selalu Ciara gunakan untuk memanggil sosok
tersebut. Ia adalah mantan anak murid bunda Ciara di sebuah sekolah kejuruan.
Kata bunda, Bang Ailul adalah anak yang rajin bekerja dan tak banyak bicara.
Ciara pertama kali bertemu dengannya ketika masih duduk di bangku SD, saat
bertandang ke sekolah bundanya dan tanpa sengaja melihat Bang Ailul sedang
mengukir daging buah semangka membentuk kelopak-kelopak bunga. Bunda beberapa
kali juga meminta bantuannya untuk bekerja di toko mereka saat Lebaran akan
tiba.
Hari-hari
pun berlalu. Singkat kata, Ciara beranjak dewasa da melanjutkan pendidikannya
di luar kota. Begitu juga Bang Ailul. Ia memutuskan merantau ke negeri tetangga
untuk bekerja. Lama sekali Ciara tak berjumpa dengannya hingga tibalah saat
ini; Ciara sedang liburan bulan Ramadhan dan Bang Ailul sendiri mengambil cuti
setelah sepuluh tahun meninggalkan tanah air. Tak banyak yang berubah darinya
termasuk sifat rajin bekerja dan tak banyak bicara. “Ra!
Ara” Tiba-tiba saja Bang Ailul sudah berdiri di sampingnya. Membuat dirinya
tergugup takut ketahuan bahwa ia sedang memerhatikan dan memikirkan Bang Ailul.
“Ra…
tolong buatkan adonan Mocca Coffee Cookies. Nanti Abang yang mencetaknya”.
Tanpa banyak tanya, Ciara langsung melesat masuk ke dapur dan mulai meracik
adonan kue kering yang diminta. Jantung Ciara berdetak dua kali lebih cepat.
Grogi karena Bang Ailul memerhatikannya meracik adonan. Ciut karena sedang
diperhatikan oleh ‘pakar’ pembuat kue. Jika dibandingkan, kemampuannya dan kemampuan
Bang Ailul sangatlah jauh berbeda. Ciara sendiri belajar meracik adonan secara
otodidak, sedangkan Bang Ailul sudah belajar sejak sekolah ditambah lagi dengan
pengalaman kerjanya menjadi seorang chef hotel bintang lima. Bang Ailul sendiri
tampak tersenyum geli melihat wajah dan pergelangan kemeja Ciara yang sudah
dipenuhi oleh tepung terigu dan mentega. “Udah deh Bang! Jangan lihat Ciara
seperti itu! Ciara nggak PD nih lagian ini kan bukan acara Master Chef. Tuh
Black Forest Bang Ailul sudah ngambek minta dihias,” kata Ciara sewot sambil
menunjuk Black Forest malang, yang tergeletak di atas meja hias, dengan
sepatulah yang dipegangnya. Rada nggak sopan sih, tapi terpaksa. “Iya deh…,” katanya
sambil berlalu membawa semangkuk cherry merah bertangkai.
Tiba-tiba
Tante Noni, adik ipar bunda, sudah berdiri sejajar di sampingnya sambil
senyam-senyum menggoda. Ciara sempat kaget. Untung saja essen mocca yang
dipegangnya tidak tumpah ke dalam adonan buatannya. “Ra, apa kamu tidak
tertarik dengan Bang Ailul? Ganteng, cool, nggak banyak omong, dan pintar masak
lagi,” Tante Noni mulai promosi. Promosi yang sama sejak Bang Ailul datang ke
Kedai Kue Ceria tahun ini. “Duh tante! Ngagetin aja deh! Ciara belum berpikir
untuk punya pasangan tante. Umur Ciara masih 22 tahun pula,” jawab Ciara sok
kalem. “Apa? 22?? Kenapa jadi lebih muda empat tahun Ra? Gak salah dengar apa
telinga tante ini?” Ciara mematikan mixer yang dipegangnya sambil berkata,
“Just kidding tante! Jangan masukin ke hati. Hmm gimana ya? Sepertinya Ciara
belum tertarik,” Tante Noni melengos kecewa dan pergi ke etalase mengambil
beberapa kotak Nastar dan Kastengel pesanan pelanggannya. Ciara
geleng-geleng kepala melihat tingkah tantenya yang tetap gaul walau umur sudah jauh
dari kata ABG.
Tertarikkah
ia? Jawaban hatinya adalah ‘iya’. Ciara tidak memungkiri bahwa diam-diam, ia
tertarik dengan Bang Ailul. Baik, kalem, pekerja keras, bonus pintar masak
pula. Bahkan rasa tertariknya sudah over dosis. Bahkan telah menjelma menjadi sesuatu yang keramat, yaitu cinta.
Tapi, Ciara tidak mau lagi banyak berharap. Memori itu memang telah 6 tahun
berlalu, tapi goresan lukanya masih belum sembuh hingga kini. Mungkin ia masih
memerlukan banyak waktu untuk recovery. Biarlah ia titipkan saja rasa cintanya
pada sang maha Cinta. Ciara yakin bahwa Dia lebih tahu siapa yang terbaik
untuknya. Jika jodoh dekatkanlah, jika tidak, mohon jauhkanlah dia, Tuhan….
Berserah. Mungkin ini adalah pengobat luka hatinya. Ciara tersenyum menyadari
bahwa ia telah berdamai dengan cinta. Namun, cinta kali ini biarlah hanya Ciara
dan Tuhan yang tahu. Dan Tuhan pula yang memutuskan akhirnya. Bukan
tebak-tebakan ia, bukan Tante Noni, dan bukan juga sahabat-sahabat gokilnya.
“Ra! Adonannya dah jadikah? Ni Abang
buatkan Banana Cake tuk takjil nanti. Sedap dinikmati dengan tea. Resep baru
Abang!” Kalimat Bang Ailul dengan logat bahasa Melayu khas negara tetangga
sebelah menyadarkan Ciara dari lamunannya. Ciara tersenyum mengucapkan terima
kasih.
---TAMAT---
#Efek baca novel genre romatis mellow-mellow. Ayo donk Oom Dan Brown! keluarkan lagi karyamu setelah Inferno!!! Biar gak mellow kayak gini. Pliss!
0 komentar:
Post a Comment