Saturday 1 March 2014

Jogjakarta Again

Hola! Como estas? Bien?! Sudah tiga hari menginjakkan kaki lagi di Jogjakerdah. Rasanya senang tak terkira kayak ketemu kekasih hati yang terlibat cinta jarak jauh (halah! kayak pernah aja!). Jogja sudah mendingan daripada saat saya tinggal sekitar seminggu yang lalu. Minggu lalu Jogja penuh abu vulkanik kayak video klipnya lagu Guzaarish, tapi tiga hari ini Jogja sudah lumayan bersih walau sesekali ada butiran-butiran debu nyasar masuk mata dan bikin efek kedap-kedip nggak karuan. Selain kangen Jogja, saya juga kangen berat sama teman paling setia saya, teman yang mau saja saya suruh-suruh angkat benda-benda berat bahkan angkat jagung manis 20 kg dari Demangan ke Jakal, siapa lagi kalau bukan Si Jago Merah, motor hasil pinjaman dari ortu (belum mampu beli sendiri hehe...). Tampangnya Si Jago Merah tidak kalah berantakannya dari kota Jogja seminggu yang lalu. Warna merahnya sudah agak memudar tertutupi abu vulkanik gunung Kelud (Ah! Percuma saja kemaren dimandiin nih motor).

Hari pertama sampai, langsung merencankan beberapa list yang harus dikerjakan hari itu juga macam ngerjain motivation letter, minta surat rekomendasi dari kedua bapak dosen yang baik hati, janjian sama Eva, mandiin Si Jago Merah, dan beli jam tangan. Walhasil yang bisa dikerjakan hanya bertemu dengan Eva dan minta contoh format surat rekomendasi yang rada-rada British gitu. Setelah itu, pergi ke Elizabeth beli jam tangan (lagi-lagi) dengan Eva. Pada dasarnya mungkin yang namanya cewek emang doyan yang namanya shopping. Yang awalnya cuma beli jam tangan eh jadi keterusan lihat-lihat tas, dompet, dan sepatu. Well, kalau tas dan dompet mungkin nggak terlalu masalah karena saya tidak terlalu suka membeli dua barang itu. Nah kalau sepatu beda lagi itu perkaranya. Tapi, bukan Nta kalau tidak bisa menahan nafsu untuk shopping. Hahahaha. Setelah puas lihat-lihat, kami cabut dari toko itu dan ternyata hujan sudah turun dengan lebat. Akhirnya ngacir menuju foodcourt toko sebelah beli makanan. Iya sih beli makanan, tapi modus utamanya tetap aja cari tempat berteduh yang cozy (Maap ya mas yang jualan Ayam Lari). 



Di sini mulailah, saya dan Eva mengobrol ngalor ngidul tentang berkas-berkas persyaratan S2 dan hunting beasiswa dari beberapa negara. Yaya... saya sama Eva sekarang lagi jadi Scholarship Hunter. Kami punya keinginan yang sama. Sama-sama pengen jadi dosen Bahasa Arab. Untuk jadi dosen, ya harus S2 dulu, tapi kami tidak ingin lagi merepotkan orang tua. Maka jadilah kami ini para pemburu beasiswa. Kalau dengar atau baca tentang beasiswa sinyal kami langsung penuh deh. Rupanya percakapan kami beralih ke soal nikah (*halahhh! itu lagi). Nikah hmm topik yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan dan sepertinya lebih sensasional daripada gosip artis di tipi. Tiba-tiba saja tertohok dengan pertanyaan Eva. Nanti seandainya mendapatkan beasiswa (khususnya beasiswa luar negeri) terus ada seseorang yang "mengkhitbah" (asyikkk istilahnya khitbah cyinn!!) lalu mau bagaimana? Tik... tok... tik... tok... terdiam dan berpikir cari ide pakai gaya Ikyu San sambil melongo dan bilang "oh iyaya". Nah lho? Bagaimana ya? Saya juga bingung. Tapi dengan (sok) kalem saya jawab saja. Ya kalau hati sreg ya nikah aja dulu. Bagaimanapun ikatan pernikahan kan lebih erat dibanding ikatan pertunangan apalagi pacaran. Kalau ternyata yang dipermasalahkan adalah masalah beasiswanya, ya ya belum ada solusi yang konkret sih, tapi mungkin masalah ini harus dikomunikasikan dengan si "dia". saya yakin sudah banyak laki-laki yang berpikiran maju dan tidak kolot lagi di tahun 2014 ini. Yup. Mungkin lagi-lagi solusinya adalah komunikasi yang intens (mirip judul acara infotainment). Klise sih, tapi banyak benernya.

Tiba-tiba teringat novel-novel karya mbak Fanny Hartanti yang sering kali mengangkat cerita tentang perempuan. Yeah... pada akhirnya perempuanlah yang harus mengalah. Okey. Ini juga klise. Tapi setidaknya kita telah berusaha untuk speak up tentang ide dan impian kita. Kalau si "dia" memperbolehkan kita untuk melanjutkan pendidikan ya betapa beruntungnya kita karena mendapatkan seorang lelaki (Aih... bahasanya pakai "lelaki" bo!) yang pengertian dan memikirkan kelangsungan pernikahan ke depannya saat tiba masanya memiliki anak. Ya seperti kita  tahu, zaman terus maju dan berkembang pesat, begitu pula dengan generasi mendatang. Mereka akan berlipat-lipat kali lebih cerdas. Jadi, tak ada salahnya perempuan memiliki pendidikan yang tinggi karena dia akan menjadi seorang ibu. Yap. Ibu bukan hanya lembut, tapi juga tangguh, kuat, dan pintar. Salah satunya dengan apa? tentu saja dengan pendidikan.

Hujan pun akhirnya reda. Kami keluar menuju parkiran lalu melesat ke area kampus untuk mengambil motor Eva. Setelah ber"dadah-dadah" ria, kami berpisah di parkiran belakang. Sepanjang perjalanan ingatan saya masih terngiang-ngiang dipenuhi percakapan kami di foodcourt. Kalau boleh jujur sebenarnya, kalau berada di posisi seperti itu, saya tidak rela sih. karena itu adalah impian terbesar saya. Saya ingin melanjutkan S2 dan menajdi dosen Bahasa Arab yang ahli dalam kajian Semiotika atau Kritik Sastra Feminis. Ah! Semoga saja Tuhan mengirimkan seseorang yang mengerti akan keinginan ini. Amiin.

Okey! Baiklah saatnya terbangun dari lamunan tentang masalah ini. Now! It's show time!!! Hunting beasiswa lagi. Susah-susah lagi. Berusaha lebih keras dan keras lagi. Yup. Tiada suatu yang besar tanpa perjuangan yang hebat kata Yovie n Nuno.

2 komentar:

  1. Keyen pembungkusan harapan n rencananya....tinggal mengorganisasi, lalu action tuh....Eits...jgn lupa bedoa...
    inspiring deh...

    ReplyDelete

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang