Aku mungkin
berbeda dengan kebanyakan perempuan di muka bumi. Biasanya, saat mereka bosan
dan banyak pikiran, mereka akan pergi berbelanja berbagai macam pakaian dan
aksesoris. Namun, aku tidak sama. Saat banyak pikiran seperti saat ini, aku lebih
senang pergi ke toko buku. Entah itu membeli buku atau hanya sekedar membaca
sinopsis cerita dan endorsement yang tertera di cover belakang
buku. Setelah puas mengelilingi rak-rak raksasa yang berjajar rapi di dalam
toko, aku melangkahkan kaki naik ke lantai dua yang difungsikan sebagai sebuah
café. Tempat itu sangat nyaman dan tenang. Cocok sekali untuk orang-orang yang
ingin menyendiri dan tak ingin diganggu. Dan hari ini, aku benar-benar tak
ingin diganggu. Inilah tempat pelarianku.
Setelah
memesan secangkir cappuccino hangat, aku duduk di sebuah sudut café. Dari sana,
aku dapat melihat lantai bawah yang dipenuhi dengan rak-rak raksasa dan jajaran
banner yang bertuliskan daftar buku-buku new entry ataupun best
seller dari berbagai macam penerbit lokal maupun nasional. Hari ini,
pengunjung toko buku ramai sekali karena ada diskon buku besar-besaran.
Untungnya toko buku tidak seperti distro atau toko pakaian yang sedang diskon
besar-besaran juga. Walau toko buku itu sedang mengadakan diskon besar-besaran,
para pengunjung yang datang tidak “ganas” seperti pengunjung distro atau toko
pakaian diskon. Para pengunjung tampak tetap tenang dan tak satu pun dari
mereka yang berebutan barang seperti di toko pakaian. Aku tersenyum sendiri
mencoba melupakan masalah yang memenuhi benakku. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku
melirik cincin perak bermata satu yang melingkar di jari manisku. Dan mau tak
mau, pikiranku kembali ke masalah itu. Ralat, lebih tepatnya bukan masalah,
melainkan pilihan yang memusingkan untuk seorang perempuan yang akan melepas
masa lajangnya.
Beberapa
bulan kedepan, aku akan melepas masa lajangku. Aku tidak lagi berstatus wanita single.
Aku akan menikah. Namun, pernikahan bukan hanya perkara menjadi raja dan ratu
sehari yang dimanjakan dan dielu-elukan. Pernikahan itu bukan hanya pengikat
antara diriku dan suami semata. Pernikahan itu juga bukan urusan menghalalkan nafsu
belaka. Pernikahan itu adalah ikatan yang menghubungkan dua belah pihak
keluarga. Pernikahan bukanlah akhir dari kehidupan layaknya dongeng masa kecil
yang kebanyakan kisahnya menceritakan tokoh putri dan pangeran yang pada
akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya. Banyak sekali yang kelak akan
terjadi setelah pernikahan. Memang penuh kebahagian, namun tak jarang juga banyak
cobaan, halangan, dan rintangan. Dan salah satu yang menjadi sebuah dilemma
setiap perempuan mungkin adalah pilihan yang akan mereka hadapi setelah mereka
berumah tangga. Mau terus berkarir atau hanya mengurus rumah tangga saja? Dan
inilah yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku.
Aku ---bisa
dibilang--- adalah seorang business woman yang bergerak dalam bidang
kuliner. Aku merintis usaha yang kujalani ini dari nol. Usahaku ini layaknya
anak kandung yang kulahirkan dan kurawat dengan baik sehingga ia menjadi besar
dan maju. Gerai kulinerku telah tersebar di beberapa kota di Indonesia. Di saat
usahaku sedang menanjak tinggi, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki. Tanpa
proses penjajakan yang terlalu lama, kami memutuskan untuk menikah. Dua minggu
lalu kami bertunangan dan beberapa bulan kedepan, kami akan menikah. Dan
sampailah aku pada titik dilemma. Ini karena aku adalah tipe yang selalu
memikirkan kemungkinan dan resiko yang akan terjadi. Maka jadilah aku pusing
tujuh keliling memikirkan pilihan. Mengurus rumah tangga atau berkarir?
“Ini
Cappucino hangatnya, Mbak. Silahkan dinikmati,” Suara pramusaji café
membuyarkanku dari lamunan. Setelah pramusaji itu beranjak dari mejaku, aku
memasukkan sedikit gula dan mengaduk-aduk cappuccino hangatku itu. Dan kali ini
aku termenung lagi sambil memandangi pusaran cairan cappuccino yang terbentuk
akibat adukan sendok. Aku ingin bercerita, namun tak tahu harus bercerita pada
siapa. Setiap orang punya pendapat masing-masing. Sania, teman kuliahku yang
kini menjabat sebagai seorang manager di sebuah hotel, memilih tetap berkarir
walau dirinya menikah dan punya anak.
“Zaman makin
maju, Fa. Kebutuhan keluarga juga semakin meningkat. Kebutuhan anaklah. Belum
lagi kebutuhan kita pribadi. Jujur aja, aku sih nggak bisa hidup tanpa make
up, aksesoris, dan fashion. Mana cukup kalau cuma mengandalkan
penghasilan suami. Lagian sekarang playgroup dan jasa pengasuh anak juga
sudah banyak bertebaran. Tinggal angkat telepon aja,” Ujar Sania lugas dan
tanpa basa-basi.
Saat itu,
aku hanya diam mendengarkan Sania berbicara panjang lebar tentang pilihan hidup
yang diambilnya setelah menikah dan mempunyai satu anak. Kepalaku mengangguk
setiap ia memintaku membenarkan argumennya, namun hatiku tidak. Aku ingin kelak
aku tetap berkarir tanpa harus mengabaikan suami apalagi anak. Karena sehebat
apapun perempuan di lingkungannya, ya tetap saja ia harus mengutamakan rumah
tangganya.
Aku menghela
nafas sebentar lalu menyeruput cappuccino hangatku sedikit demi sedikit. Aku
tak ingin seperti Sania, namun aku tak ingin juga seperti Sasih. Sasih itu
teman SMPku dulu di kampung. Setelah tamat SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya.
Katanya perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena perempuan sejatinya
akan kembali mengurus rumah tangga.
“Untuk apa
sekolah tinggi-tinggi, jika di sana tidak diajarkan bagaimana cara mengurus
rumah tangga. Itu kata bapakku, Fa,” Aku juga hanya mampu terdiam mendengar
ucapan Sasih. Ini salah! Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki
terutama dalam hak pendidikan. Malah perempuan seharusnya mendapatkan
pendidikan yang terbaik karena perempuan akan menjadi seorang ibu bagi
anak-anaknya kelak. Tak peduli apa pilihan mereka nanti. Mereka ingin
berkarirkah atau mengurus rumah tangga? Perempuan
harus pintar apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini.
Aku teguk
lagi cappuccino hangat yang kini telah dingin ditiup angin dari hujan di luar
sana. Dari cerita Sasih, kemudian pikiranku melayang ke pengalaman teman baikku
Ratih. Beberapa hari setelah acara tunanganku, aku mengunjungi Ratih yang baru
saja melahirkan. Karena kami jarang sekali bertemu, maka kami mengobrol
sepuas-puasnya. Untung saja Si Kecil tertidur pulas di dalam ranjangnya
sehingga obrolan kami semakin seru dan asyik.
“Aku
mengundurkan diri dari kantor, Fa. Aku ingin fokus mengurus suami dan anak.
Percuma kan, kalo karir melejit, tapi rumah tangga bobrok? Nanti kalau kamu
sudah menikah dengan Mas Bayu-mu itu, lepaskan saja perusahaanmu ke
adik-adikmu. Mereka kan juga sudah lama kerja denganmu, Fa. Fokus saja mengurus
rumah tangga sepertiku,”
Aku
tersenyum getir mengingat perkataan Ratih. Apakah tidak bisa menjalani
kedua-duanya? Inilah aku. Si Idealis. Saat ini yang kubutuhkan bukan pendapat
lagi. Toh terkadang kita tidak harus mengikuti pendapat orang lain kan? Cukup
dengarkan apa kata mereka dan pilihlah mana yang baik dan yang buruknya lalu
simpulkan dan pilihan akhir ada di tangan kita. Just Follow your heart! Kini,
yang kubutuhkan hanya orang yang mendukungku. Sebenarnya aku sudah memilih,
namun aku butuh seseorang yang selalu mendukung pilihanku. Dan kumau, orang itu
adalah calon suamiku, Mas Bayu...
“Mas Bayu?” Aku
terkaget melihat sosok Bayu Bahari Utara yang telah duduk manis di hadapanku. Mungkin ini
yang dinamakan belahan jiwa. Satu memanggil dan yang satu lagi datang
menghampiri. Satu lemah dan yang satu lagi datang menguatkan Ah! Entahlah.
“Kenapa?
Masih memikirkan masalah itu, Fa?”
Aku hanya mengangguk perlahan tak
bergairah. Ia menatapku dalam dan menggenggam jemariku. Kehangatan jemarinya
terasa menghangatkan jiwaku.
“Meninggalkan
karir dan fokus dalam rumah tangga adalah pilihan yang sangat tepat. Namun,
tetap berkarir dan tetap telaten mengurus rumah tangga adalah sebuah tantangan.
Apapun yang kau pilih, kau harus ingat bahwa aku selalu mendukung pilihanmu,”
“Saat
ini, aku memilih pilihan kedua, Mas,”
“I
knew it. Aku sudah menebaknya. Kau memang perempuan yang suka dengan
tantangan. That’s a reason why I fall in love with you,” Kata-katanya
membuatku tersipu malu.
“Namun,
bagaimana jika aku gagal?” Tanyaku mulai ragu. Bagaimanapun mengurus rumah
tangga itu berbeda dengan mengurus perusahaan. Perusahaan hanya kutangani dari
pagi sampai sore saja, sedangkan rumah tangga harus kutangani di setiap detak
jantung dan setiap hembusan nafasku.
“Kau
masih punya aku, Fa. Toh, seharusnya rumah tangga itu diurus oleh kedua belah
pihak kan? Hanya mindset dan ego saja yang menciptakan peraturan baru
bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga sepenuhnya. Kau tidak sendirian,
Fa. Ada aku di sampingmu saat ini dan selamanya. Promise,”
Apapun pilihanmu,
belajarlah setinggi-tingginya. Karena kau adalah calon ibu
hassh awalnya aku pikir km bneran mbk, sampai pd akhirnya aku ketemu ini, "Beberapa bulan kedepan, aku akan melepas masa lajangku. Aku tidak lagi berstatus wanita single. Aku akan menikah" udah aku udah tau ini fiksi :p
ReplyDeletesemacam mengungkapkan ide via fiksi gitu bisr ngga terlalu serius
ReplyDelete