Thursday 24 January 2013

Pilihan


Aku mungkin berbeda dengan kebanyakan perempuan di muka bumi. Biasanya, saat mereka bosan dan banyak pikiran, mereka akan pergi berbelanja berbagai macam pakaian dan aksesoris. Namun, aku tidak sama. Saat banyak pikiran seperti saat ini, aku lebih senang pergi ke toko buku. Entah itu membeli buku atau hanya sekedar membaca sinopsis cerita dan endorsement yang tertera di cover belakang buku. Setelah puas mengelilingi rak-rak raksasa yang berjajar rapi di dalam toko, aku melangkahkan kaki naik ke lantai dua yang difungsikan sebagai sebuah café. Tempat itu sangat nyaman dan tenang. Cocok sekali untuk orang-orang yang ingin menyendiri dan tak ingin diganggu. Dan hari ini, aku benar-benar tak ingin diganggu. Inilah tempat pelarianku.

Setelah memesan secangkir cappuccino hangat, aku duduk di sebuah sudut café. Dari sana, aku dapat melihat lantai bawah yang dipenuhi dengan rak-rak raksasa dan jajaran banner yang bertuliskan daftar buku-buku new entry ataupun best seller dari berbagai macam penerbit lokal maupun nasional. Hari ini, pengunjung toko buku ramai sekali karena ada diskon buku besar-besaran. Untungnya toko buku tidak seperti distro atau toko pakaian yang sedang diskon besar-besaran juga. Walau toko buku itu sedang mengadakan diskon besar-besaran, para pengunjung yang datang tidak “ganas” seperti pengunjung distro atau toko pakaian diskon. Para pengunjung tampak tetap tenang dan tak satu pun dari mereka yang berebutan barang seperti di toko pakaian. Aku tersenyum sendiri mencoba melupakan masalah yang memenuhi benakku. Tiba-tiba, tanpa sengaja aku melirik cincin perak bermata satu yang melingkar di jari manisku. Dan mau tak mau, pikiranku kembali ke masalah itu. Ralat, lebih tepatnya bukan masalah, melainkan pilihan yang memusingkan untuk seorang perempuan yang akan melepas masa lajangnya.

Beberapa bulan kedepan, aku akan melepas masa lajangku. Aku tidak lagi berstatus wanita single. Aku akan menikah. Namun, pernikahan bukan hanya perkara menjadi raja dan ratu sehari yang dimanjakan dan dielu-elukan. Pernikahan itu bukan hanya pengikat antara diriku dan suami semata. Pernikahan itu juga bukan urusan menghalalkan nafsu belaka. Pernikahan itu adalah ikatan yang menghubungkan dua belah pihak keluarga. Pernikahan bukanlah akhir dari kehidupan layaknya dongeng masa kecil yang kebanyakan kisahnya menceritakan tokoh putri dan pangeran yang pada akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya. Banyak sekali yang kelak akan terjadi setelah pernikahan. Memang penuh kebahagian, namun tak jarang juga banyak cobaan, halangan, dan rintangan. Dan salah satu yang menjadi sebuah dilemma setiap perempuan mungkin adalah pilihan yang akan mereka hadapi setelah mereka berumah tangga. Mau terus berkarir atau hanya mengurus rumah tangga saja? Dan inilah yang akhir-akhir ini mengganggu pikiranku.

Aku ---bisa dibilang--- adalah seorang business woman yang bergerak dalam bidang kuliner. Aku merintis usaha yang kujalani ini dari nol. Usahaku ini layaknya anak kandung yang kulahirkan dan kurawat dengan baik sehingga ia menjadi besar dan maju. Gerai kulinerku telah tersebar di beberapa kota di Indonesia. Di saat usahaku sedang menanjak tinggi, aku jatuh cinta pada seorang laki-laki. Tanpa proses penjajakan yang terlalu lama, kami memutuskan untuk menikah. Dua minggu lalu kami bertunangan dan beberapa bulan kedepan, kami akan menikah. Dan sampailah aku pada titik dilemma. Ini karena aku adalah tipe yang selalu memikirkan kemungkinan dan resiko yang akan terjadi. Maka jadilah aku pusing tujuh keliling memikirkan pilihan. Mengurus rumah tangga atau berkarir?

“Ini Cappucino hangatnya, Mbak. Silahkan dinikmati,” Suara pramusaji café membuyarkanku dari lamunan. Setelah pramusaji itu beranjak dari mejaku, aku memasukkan sedikit gula dan mengaduk-aduk cappuccino hangatku itu. Dan kali ini aku termenung lagi sambil memandangi pusaran cairan cappuccino yang terbentuk akibat adukan sendok. Aku ingin bercerita, namun tak tahu harus bercerita pada siapa. Setiap orang punya pendapat masing-masing. Sania, teman kuliahku yang kini menjabat sebagai seorang manager di sebuah hotel, memilih tetap berkarir walau dirinya menikah dan punya anak.

“Zaman makin maju, Fa. Kebutuhan keluarga juga semakin meningkat. Kebutuhan anaklah. Belum lagi kebutuhan kita pribadi. Jujur aja, aku sih nggak bisa hidup tanpa make up, aksesoris, dan fashion. Mana cukup kalau cuma mengandalkan penghasilan suami. Lagian sekarang playgroup dan jasa pengasuh anak juga sudah banyak bertebaran. Tinggal angkat telepon aja,” Ujar Sania lugas dan tanpa basa-basi.

Saat itu, aku hanya diam mendengarkan Sania berbicara panjang lebar tentang pilihan hidup yang diambilnya setelah menikah dan mempunyai satu anak. Kepalaku mengangguk setiap ia memintaku membenarkan argumennya, namun hatiku tidak. Aku ingin kelak aku tetap berkarir tanpa harus mengabaikan suami apalagi anak. Karena sehebat apapun perempuan di lingkungannya, ya tetap saja ia harus mengutamakan rumah tangganya.

Aku menghela nafas sebentar lalu menyeruput cappuccino hangatku sedikit demi sedikit. Aku tak ingin seperti Sania, namun aku tak ingin juga seperti Sasih. Sasih itu teman SMPku dulu di kampung. Setelah tamat SMP, ia tidak melanjutkan sekolahnya. Katanya perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena perempuan sejatinya akan kembali mengurus rumah tangga.

“Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika di sana tidak diajarkan bagaimana cara mengurus rumah tangga. Itu kata bapakku, Fa,” Aku juga hanya mampu terdiam mendengar ucapan Sasih. Ini salah! Perempuan punya hak yang sama dengan laki-laki terutama dalam hak pendidikan. Malah perempuan seharusnya mendapatkan pendidikan yang terbaik karena perempuan akan menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya kelak. Tak peduli apa pilihan mereka nanti. Mereka ingin berkarirkah atau mengurus rumah tangga?  Perempuan harus pintar apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini.

Aku teguk lagi cappuccino hangat yang kini telah dingin ditiup angin dari hujan di luar sana. Dari cerita Sasih, kemudian pikiranku melayang ke pengalaman teman baikku Ratih. Beberapa hari setelah acara tunanganku, aku mengunjungi Ratih yang baru saja melahirkan. Karena kami jarang sekali bertemu, maka kami mengobrol sepuas-puasnya. Untung saja Si Kecil tertidur pulas di dalam ranjangnya sehingga obrolan kami semakin seru dan asyik.

“Aku mengundurkan diri dari kantor, Fa. Aku ingin fokus mengurus suami dan anak. Percuma kan, kalo karir melejit, tapi rumah tangga bobrok? Nanti kalau kamu sudah menikah dengan Mas Bayu-mu itu, lepaskan saja perusahaanmu ke adik-adikmu. Mereka kan juga sudah lama kerja denganmu, Fa. Fokus saja mengurus rumah tangga sepertiku,”

Aku tersenyum getir mengingat perkataan Ratih. Apakah tidak bisa menjalani kedua-duanya? Inilah aku. Si Idealis. Saat ini yang kubutuhkan bukan pendapat lagi. Toh terkadang kita tidak harus mengikuti pendapat orang lain kan? Cukup dengarkan apa kata mereka dan pilihlah mana yang baik dan yang buruknya lalu simpulkan dan pilihan akhir ada di tangan kita. Just Follow your heart! Kini, yang kubutuhkan hanya orang yang mendukungku. Sebenarnya aku sudah memilih, namun aku butuh seseorang yang selalu mendukung pilihanku. Dan kumau, orang itu adalah calon suamiku, Mas Bayu...

“Mas Bayu?” Aku terkaget melihat sosok Bayu Bahari Utara yang telah duduk manis di hadapanku. Mungkin ini yang dinamakan belahan jiwa. Satu memanggil dan yang satu lagi datang menghampiri. Satu lemah dan yang satu lagi datang menguatkan Ah! Entahlah.

“Kenapa? Masih memikirkan masalah itu, Fa?”

Aku hanya mengangguk perlahan tak bergairah. Ia menatapku dalam dan menggenggam jemariku. Kehangatan jemarinya terasa menghangatkan jiwaku.

            “Meninggalkan karir dan fokus dalam rumah tangga adalah pilihan yang sangat tepat. Namun, tetap berkarir dan tetap telaten mengurus rumah tangga adalah sebuah tantangan. Apapun yang kau pilih, kau harus ingat bahwa aku selalu mendukung pilihanmu,”
            “Saat ini, aku memilih pilihan kedua, Mas,”
            “I knew it. Aku sudah menebaknya. Kau memang perempuan yang suka dengan tantangan. That’s a reason why I fall in love with you,” Kata-katanya membuatku tersipu malu.

            “Namun, bagaimana jika aku gagal?” Tanyaku mulai ragu. Bagaimanapun mengurus rumah tangga itu berbeda dengan mengurus perusahaan. Perusahaan hanya kutangani dari pagi sampai sore saja, sedangkan rumah tangga harus kutangani di setiap detak jantung dan setiap hembusan nafasku.

            “Kau masih punya aku, Fa. Toh, seharusnya rumah tangga itu diurus oleh kedua belah pihak kan? Hanya mindset dan ego saja yang menciptakan peraturan baru bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga sepenuhnya. Kau tidak sendirian, Fa. Ada aku di sampingmu saat ini dan selamanya. Promise,

Apapun pilihanmu, belajarlah setinggi-tingginya. Karena kau adalah calon ibu

2 komentar:

  1. hassh awalnya aku pikir km bneran mbk, sampai pd akhirnya aku ketemu ini, "Beberapa bulan kedepan, aku akan melepas masa lajangku. Aku tidak lagi berstatus wanita single. Aku akan menikah" udah aku udah tau ini fiksi :p

    ReplyDelete
  2. semacam mengungkapkan ide via fiksi gitu bisr ngga terlalu serius

    ReplyDelete

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang