Delapan tahun tampaknya merubah seluruh tatanan kampus ini dengan signifikan, kecuali gerbang
depan kampus yang menjadi favoritku. Dari tempat itu, gunung Merapi terlihat
sejajar dengan gedung auditorium kampus. Jika beruntung, kita bisa melihat
gunung itu berwarna biru diselumuti awan yang mengelilinginya. Sore itu,
gunung Merapi terlihat megah berdiri kokoh di belakang auditorium kampus.
Guratan awan putih berbaris mengelilingi merapi membuatnya seakan sedang
mengucapkan selamat sore kepadaku.
“Udah
lama sampainya?”
Tanpa kusadari, Erland telah duduk manis di
sebelahku. Ia menyodorkan satu cup jus pisang ke hadapanku. Aku mengambilnya ragu-ragu. Delapan tahun boleh saja
telah berlalu, namun kenangan tentang segala sesuatu yang kusukai masih
diingatnya. Bukannya senang karena dia masih mengingat semua hal yang kusukai,
aku malah kesal setengah mati. Dulu di saat aku mengharapkan cintanya, ia
malah pergi menghilang tanpa kabar. Dan kini, di saat luka yang ditorehkannya
di hatiku sudah sembuh, tiba-tiba ia datang lagi mengisi kehidupanku. Dan saat
ini, aku sudah punya seorang Arun yang mencintaiku dengan tulus dan pastinya
tidak pernah memberikanku harapan palsu.
“Ada apa lagi, Land?”
“Aku hanya ingin
mengatakan bahwa aku bahagia bertemu denganmu lagi,”
“Terima kasih,”
“Dari dulu hingga
sekarang, tak ada yang berubah. Aku masih mencintaimu, Vanti…,”
“….”
Kata-kata yang
diucapkannya benar-benar membuatku marah. Jika memang ia mencintaiku, kenapa ia
meninggalkanku tanpa kepastian? Dan kini di saat aku melupakannya dan menemukan
cinta baru yang menjanjikan hal yang pasti, ia kembali datang tanpa rasa
bersalah di hati.
“Kau bilang kau
mencintaiku dari dulu hingga kini? Lantas mengapa kau tinggalkan aku pergi
tanpa sebuah kepastian, Land?” Aku memuntahkan tumpukan morfem yang sudah
teramat lama kupendam dalam pikiran.
“Karena… aku…,”
---Bersambung---
0 komentar:
Post a Comment