Tuesday, 20 May 2014

Menjauhlah

Kau duduk di hadapanku sambil sesekali menggerakkan telunjukmu mengitari bibir cangkir berisi kopi hitam. Aku memang duduk di hadapanmu. Benar-benar tepat di hadapanmu. Namun, pandanganku bukan tertuju padamu, melain tertuju pada embun yang menempel di permukaan kaca. Aku merapatkan syal di leherku. Dingin semakin menjalar. Sunyi semakin menebar.

Tidak ingatkah kau di hari itu? Di hari saat jemarimu menekan "send" di alamat emailmu. Hari itu sangat memilukan, Sayang. Oh bukan sayang! Kata itu tak pantas lagi kugunakan. Dari jarak beribu-ribu mil, kau kirimkan kabar bahwa kau menemukan cinta. Bukan cintaku dan bukan cinta kita. Namun cinta baru yang tengah merekah. Jika cinta telah berkata, sungguh aku tak bisa melakukan apa-apa. Kau juga tahu kan bahwa cinta absolut bahkan arbiter? Datang dan pergi begitu saja. Sesukanya. 

Kau tahu? Perlahan-lahan aku menajuh darimu. Meninggalkan jauh di belakang dengan cinta barumu yang masih merekah segar. Buat apa aku mencintamu, jika kau tidak mencintaku? Jadi kuputuskan saja untuk pergi dari lingkaran. Membiarkanmu bergenggaman dengan cinta barumu itu.

Bumi tetap berputar pada porosnya. Waktu pun terus berlalu. Kau tahu? Aku menemukan kehidupan baruku. Kehidupan tanpamu. Kehidupan yang membuatku selalu tersenyum syahdu. Kutemukan cintaku. Cinta yang mengobati luka yang kau toreh pada hatiku. Kau tahu? Kali ini hanya bahagia yang kurasa hingga akhirnya kau tiba (lagi) dengan kata-kata cinta.

Senja itu kau menyapaku lewat dunia maya. Bertanya tentang keadaan dan kabarku. Klise! Aku tak menggubris untaian kalimatmu. Untuk apa? Karena tak ada lagi sesuatu yang terjalin di antara kita. Kau harus ingat itu! Namun, kau tidak berhenti rupanya. Kau kirimkan untaian kata-kata yang terdengar klise itu padaku. Kau tahu? Aku muak! Untuk apa kau tiba lagi? Untuk apa kau hadir lagi dalam hidupku lagi? Apakah cintamu yang dulu merekah kini telah layu? Dan kau ingin kembali padaku di saat penyatuan cintaku akan dilaksanakan beberapa minggu lagi.

"Aku mohon menjauhlah dariku, Pay," Kataku sambil tetap menatap embun yang mulai meleleh. Dia tidak bergeming sedikit pun. Sunyi. Hanya suara jam dinding saja yang terdengar berdetak. "Aku mencintaimu" katamu spontan. Jemarimu tak lagi melingkari bibir cangkir berisi kopi. Aku tersenyum.
"Maaf aku tak bisa walau cintamu tumbuh sangat rindang. Cinta yang lain sedang menantiku. Cinta yang telah mengobati luka yang kau toreh. Cinta yang selalu ada saat kau tak lagi menoleh. Aku lebih memilih dia," Kusambar saja mantel musim dinginku dan berlalu dari hadapannya tanpa sepatah kata.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang