Sunday 3 March 2013

Hujan Kala Itu

Penghujung tahun ini intensitas curah hujan makin meningkat. Sore ini saja, awan tebal telah menutupi indahnya kilau sang mentari. Titik demi titik hujan mulai membasahi setiap permukaan tanah. Hujan kali ini, tidak hanya sekedar hujan, namun juga hujan berangin. Dan kau tahu kan? Aku benar-benar membenci angin. Kukembangkan payung hijau toscaku lalu berjalan menelusuri tepian jalan. Tanpa sengaja, kutatap jalanan yang mulai tergenang oleh rintikan hujan yang mulai beranjak lebat. Tiba-tiba, percikan air comberan menciprati pakaian para pejalan kaki. Beberapa orang dari mereka tampak mengomel dan mengutuk-ngutuk mobil penyebab insiden cipratan air comberan tersebut. mobil itu tak berhenti, namun malah melaju kencang tanpa peduli. Entah apa isi benak orang itu? mengapa ia harus memacu mobilnya begitu kencang? Bukankah tubuhnya tak akan tekena air hujan berangin itu? Atau mungkin ia buru-buru mengejar waktu?

Aku menatap ekor mobil itu yang makin lama makin mengecil dan hilang ditelan jalanan yang menurun tajam. Tiba-tiba aku tersadar bahwa sekujur tubuhku telah basah. selain akibat percikan air comberan, tampaknya payung hijau toscaku tak mampu menahan terpaan angin kencang lagi. Aku menatap lurus ke depan. Dua blok lagi, aku akan sampai ke tempat tujuanku. Aku mempercepat langkahku hingga akhirnya aku sampai pada tempat tujuanku. Sekilas kubaca papan nama yang tergantung di bangunan itu. Aku melangkah masuk. Seorang wanita rambut panjang hitam sebahu melambaikan tangan kepadaku. Aku tersenyum dan mendekatinya. Lalu kami berpelukan saling melepas rindu. Seorang pelayan mendatangi kami dan memberikan selembar daftar menu. Aku memesan semangkuk es krim mocca. Entah kenapa. Walau di luar sana hujan turun lebat, aku ingin sekali menikmati semangkuk besar es krim mocca. Ah!Aku benar-benar tak peduli pada cuaca. Aku hanya ingin es krim mocca. Titik.

"Sudah lama tidak bertemu ya, Ci," Wanita itu memulai percakapan sambil mengelus-elus perutnya yang makin membesar.
"Iya ya, Ra. Omong-omong selamat ya atas kehamilanmu. Sebentar lagi aku akan mempunyai keponkan baru. Tak terasa waktu cepat berlalu," Kataku sambil mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang datang mengantarkan semangkuk es krim mocca.
"Bagaimana kabarmu? Kau masih sendiri?" Wanita itu bertanya lagi.
"Tidak. Aku tidak pernah sendiri. Ada dua malaikat yang berdiri di sebelah kanan dan kiriku," jawabku sambil menyendokkan setangkup es krim mocca bertabur coklat chip ke mulutku.
"Aku serius, Ci. Jangan bergurau!"

"Ampun!" Kataku sambil menangkupkan kedua tanganku di dahi. Aku mencoba melucu untuk membelokkan arah percakapan ini. Sejujurnya, aku sudah bosan setengah mati dengan tema pembicaraan tentang 'kesendirian'. Aku tak ingin orang-orang menatapku iba. Aku bahagia dengan ini semua. Tak ada lagi yang mengganggu hidupku, merusak hari-hari, dan memenuhi pikiranku. Setidaknya aku tak pernah melakukan hal-hal bodoh yang pernah kulakukan di masa lalu. Buatku, masa lalu itu adalah kaca perbandingan untuk masa depan. Jadi, cukuplah kebodohan itu terjadi di masa lalu saja.

"Jangan mencoba melucu, Ci! Aku serius. Kau tidak melihat ketulusan cinta Adit padamu? Kau terlalu selektif, Ci. Pantas jika sampai kini kau masih sendiri!" Kata wanita itu penuh dengan keseriusan dan sedikit berapi-api. Mungkin, jika ia tidak dalam keadaan hamil, ia akan membentakku dengan suaranya yang melengking itu. aku tahu sifat wanita itu. Kami telah berteman baik selama sepuluh tahun lebih dan aku tahu semua gerak gerik dan tingkah polahnya.

Aku menghembuskan napasku sambil tersenyum kecut. Bukan aku selektif, tapi aku tak mau mengulang kebodohan di masa lalu. Jangan pernah jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya karena orang-orang yang jatuh ke dalam lubang yang sama adalah orang-orang bodoh. Aku menjauhkan mangkuk es krim mocca yang mulai mencair. Nafsu makankmu menguap tiba-tiba. Aku tak ingin es krim mocca lagi.

"Apa buktinya bahwa Adit benar-benar mencintaiku?" kataku sinis.
"Rasakan perhatiannya, Ci! Apakah hatimu tidak memiliki kesensitifan untuk merasakan itu?
"Apa katamu? Perhatian? Buatku sebuah perhatian bukanlah bagian dari cinta, Ra! Perhatian ya hanya sebatas perhatian belaka tanpa arti dan juga makna,"
"Kenapa kau simpulkan seperti itu?"
"Ara. Dengar! Dulu aku pernah terbuai dengan sebongkah besar perhatian yang begitu dalam. Pada akhirnya, aku menyimpulkan perhatian itu adalah bentuk cinta dia padaku. Namun, apa yang terjadi? Dia pergi tanpa kabar berita sampai akhirnya aku mendapati sepucuk undangan pernikahan. Undangan pernikahan berwarna biru muda bergambar rangkaian bunga lili putih serta bertuliskan namanya dan namamu. Kau tahu itu kan? Semenjak itu, aku tak pernah terbuai oleh segala macam bentuk perhatian apapun dari seorang lelaki. Jadi jika hal ini terjadi lagi padaku, apakah kau masih berpikir bahwa aku terlalu selektif?"

Wanita yang kupanggil Ara itu terdiam. Begitu juga aku. Setelah lelah adu mulut, kami semua terdiam. Aku menatap mengkuk es krim mocca yang kuletakkan di pinggiran meja. Es krim mocca itu tampak benar-benar telah mencair. coklat chipnya pun telah hilang dalam cairan berwarna coklat pekat itu. Aku melirik jam tanganku. Rupanya sudah jam enam sore. Aku menatap Ara yang masih termenung di depanku.
"Ra. Sudah jam enam sore. Aku harus kembali," kataku hati-hati. Aku tahu kata-kataku tadi pasti telah menyakitinya dan membuka luka lama di dalam hati kami masing-masing.
"Maafkan aku, Ci. Aku tidak pernah bermaksud merebut dia dari dirimu," Ara terlihat merasa bersalah.
"Kau tak salah Ra. Tak ada yang salah. Cinta itu absolut, tidak bisa disalahkan. Cinta itu datang tiba-tiba. Cinta itu hinggap di hati siapa saja yang dikehendakinya tanpa menghiraukan situasi dan kondisi yang tengah terjadi". Aku berdiri dan memeluk Ara. Aku berkata padanya bahwa aku tak sabar ingin melihat kelahiran bayi mungilnya. Bayi mungil buah cinta Ara dengan dia. lalu beranjak pergi meninggalkannya.

Di tengah jalan pun pikiranku masih kacau. Mangkuk es krim mocca, wajah Ara, dan percakapan kami masih memenuhi benakku. Tuhan! tak bisakah aku normal kembali saat pikiran ini jauh dari kata 'laki-laki'? Dia memang telah kucampakkan dari pikiranku jauh-jauh, tapi kali ini Adit masuk dalam rekaman memori otakku. Ah andai saja memori otakku hanya 128 gb dan Adit 2 kb. Aku yakin otakku tak kan mampu menyimpan memori tentangnya. Dan aku bersyukur untuk itu. Namun kenyataannya tidak. Sayang sekali.
"Ici!" Seseorang memanggil namaku dari belakang. Aku membalikkan badanku dan melihat Adit berdiri tegap di ujung trotoar. aku mendekatinya dan dengan memberanikan diri aku berkata padanya,
"Aku tidak butuh perhatianmu. Jika kau memang tulus mencintaiku, katakan sejujurnya!"
Air mataku mulai meluruh satu persatu. Aku tinggalkan Adit yang masih terpaku di tempatnya berdiri.

Hujan masih luruh dari awan senja kala itu. Mendung pun masih tampak kelabu. Hatiku memang masih beku. Namun di bagian terdalamnya, aku masih menunggu yang terbaik untukku.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang