Malam itu rembulan di langit tidak
lagi sendirian. Banyak gemintang bertebaran dan
berkelap-kelip. Dari sebuah balkon rumah, tampak Arya memandangi
rembulan dan gemintang tersebut. Ia tidak menghiraukan semarak
celotehan keluarganya yang sibuk menyambut anggota keluarga baru mereka. Siapa
lagi kalau bukan putri kecil Ratih. Pikiran Arya terbang melayang ke memori
yang terjadi beberapa tahun silam. Arya masih ingat betul hari itu. Satu hari
Senin beberapa tahun silam saat ia hendak pergi ke London untuk melanjutkan
studinya. Saat itu, ia berjalan menuju pintu keberangkatan. Namun, tiba-tiba saja
langkahnya terhenti. Seorang gadis remaja memanggil namanya dari
belakang. Saat ia membalikkan badannya, ia melihat seorang gadis berseragam
putih abu-abu dengan bandana putih di rambut berlari-lari mendekatinya. Gadis
itu tak lain adalah Mara. Mara terus berlari ke arahnya tanpa menghiraukan
berat tas ransel yang digendongnya. Saat Mara berdiri sejajar di hadapannya,
Arya bisa melihat jelas wajah gadis itu dan tentu saja potongan rambutnya yang
macam mangkuk mie ayam. Mara lalu mengulurkan sebuah bingkisan kecil kepadanya.
Arya mengambil bingkisan itu dan menyimpannya di dalam saku celana lalu ia
mengucapkan terima kasih kepada Mara.
“Aku… aku mencintai Mas Arya,”
Arya kaget saat mendengarkan pernyataan Mara yang blak-blakan.
Selama ini, ia memang menyayangi Mara dan ingin selalu melindunginya. Namun, ia
masih belum yakin apakah rasa itu cinta kepada seorang gadis atau cinta kepada seorang
yang telah ia anggap sebagai seorang adik seperti halnya Ratih. Tiba-tiba
panggilan untuk keberangkatan penerbangannya menggaung ke seantaro bandara. Ia
tak dapat menjelaskan apa yang ia rasakan pada Mara. Ia hanya mengelus puncak
kepala Mara sembari berkata,
“Aku pergi dulu
ya, Ra,”
Setelah itu, Arya
berlalu dari hadapannya dan masuk ke dalam pintu keberangkatan. Dari balik kaca
hitam ruangan tersebut, Arya menatap punggung Mara yang makin lama makin
menjauh kemudian hilang di tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang.
Selama penerbangan pun, ia memikirkan perkataan Mara. Mara itu memang lucu dan
ramai. Selain itu, ia sangat dekat dengan Mara. Mara pun sering kali merepotkannya dengan tingkah laku yang
dibuat-buat untuk menarik perhatian dirinya. Bukannya jengkel dan kesal, Arya
malah menuruti saja kemauan gadis itu. Ia sadar jika ia memang menyayangi Mara.
Namun, ia belum bisa menamai perasaan yang ada di dalam hatinya. Hingga suatu
saat, saat ia terpisah beribu-ribu mil dari gadis itu, Arya tersadar bahwa ia
mencintai Mara. Sering kali Arya merindukan canda tawa gadis itu. Arya selalu
menunggu masa-masa liburan agar dapat pulang ke Indonesia dan bertemu dengan
Mara. Namun, beberapa kali Arya pulang, tak sekalipun ia bertemu dengan Mara. Ia
pun malu menanyakan kabar Mara kepada Ratih.
Dan akhirnya, setelah sekian lama,
ia bertemu dengan gadis itu kembali. Banyak sekali yang berubah dari Mara.
Gadis itu tampak lebih dewasa dalam perkataan maupun tindakannya. Tak ada lagi
Mara yang cerewet dan sering bermanja-manja minta diperhatikan olehnya. Betapa
ingin ia memeluk, mengacak-acak rambut gadis itu, dan mengatakan padanya bahwa
ia mempunyai rasa yang sama pada gadis itu. Tapi, itu tak mungkin terjadi.
Tampaknya, Mara telah lupa dengan pernyataannya saat itu. Mungkin saja dirinya
hanya cinta monyet bagi Mara. Arya meneguk soft drink-nya. Di langit
sana, rembulan telah tersembunyi di balik guratan awan. Malam semakin larut.
Suasana yang tadi ramai pun lambat-laun menghilang dan tergantikan dengan suara
jangkrik yang bersahutan. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya. Arya
menoleh ke samping dan mendapati ibunya berdiri di sisinya.
“Mama senang sekali mendapat kado
terindah dari Ratih. Tapi, Mama akan lebih bahagia kalau anak laki-laki Mama
ini cepat-cepat juga melepas masa lajangnya. Apalagi yang kamu tunggu, Nak?
Umur sudah lebih dari cukup, pekerjaan sudah ada dan mapan,” kata sang ibu
sambil menatap anak sulungnya itu.
“Tenang Ma. Arya juga tidak mau jadi
bujang lapuk. Memangnya mama mau menantu yang seperti apa?” Katanya sambil
memeluk sang ibu dengan tangan kanannya.
“Terserah kamu saja. Yang penting
satu iman. Hmm… tapi, Ar, kalau bisa yang seperti Mara ya,”
Arya terdiam seketika. Yang
terdengar hanya suara jangkrik dan kodok yang bersahut-sahutan.
0 komentar:
Post a Comment