Sunday 5 May 2013

Potongan: Cinta Monyet Arya


Malam itu rembulan di langit tidak lagi sendirian. Banyak gemintang bertebaran dan  berkelap-kelip. Dari sebuah balkon rumah, tampak Arya memandangi rembulan dan gemintang tersebut. Ia tidak menghiraukan semarak celotehan keluarganya yang sibuk menyambut anggota keluarga baru mereka. Siapa lagi kalau bukan putri kecil Ratih. Pikiran Arya terbang melayang ke memori yang terjadi beberapa tahun silam. Arya masih ingat betul hari itu. Satu hari Senin beberapa tahun silam saat ia hendak pergi ke London untuk melanjutkan studinya. Saat itu, ia berjalan menuju pintu keberangkatan. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Seorang gadis remaja memanggil namanya dari belakang. Saat ia membalikkan badannya, ia melihat seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan bandana putih di rambut berlari-lari mendekatinya. Gadis itu tak lain adalah Mara. Mara terus berlari ke arahnya tanpa menghiraukan berat tas ransel yang digendongnya. Saat Mara berdiri sejajar di hadapannya, Arya bisa melihat jelas wajah gadis itu dan tentu saja potongan rambutnya yang macam mangkuk mie ayam. Mara lalu mengulurkan sebuah bingkisan kecil kepadanya. Arya mengambil bingkisan itu dan menyimpannya di dalam saku celana lalu ia mengucapkan terima kasih kepada Mara.

“Aku… aku mencintai Mas Arya,”
Arya kaget saat mendengarkan pernyataan Mara yang blak-blakan. Selama ini, ia memang menyayangi Mara dan ingin selalu melindunginya. Namun, ia masih belum yakin apakah rasa itu cinta kepada seorang gadis atau cinta kepada seorang yang telah ia anggap sebagai seorang adik seperti halnya Ratih. Tiba-tiba panggilan untuk keberangkatan penerbangannya menggaung ke seantaro bandara. Ia tak dapat menjelaskan apa yang ia rasakan pada Mara. Ia hanya mengelus puncak kepala Mara sembari berkata,
            “Aku pergi dulu ya, Ra,”
            Setelah itu, Arya berlalu dari hadapannya dan masuk ke dalam pintu keberangkatan. Dari balik kaca hitam ruangan tersebut, Arya menatap punggung Mara yang makin lama makin menjauh kemudian hilang di tengah kerumunan orang-orang yang berlalu lalang. Selama penerbangan pun, ia memikirkan perkataan Mara. Mara itu memang lucu dan ramai. Selain itu, ia sangat dekat dengan Mara. Mara  pun sering kali  merepotkannya dengan tingkah laku yang dibuat-buat untuk menarik perhatian dirinya. Bukannya jengkel dan kesal, Arya malah menuruti saja kemauan gadis itu. Ia sadar jika ia memang menyayangi Mara. Namun, ia belum bisa menamai perasaan yang ada di dalam hatinya. Hingga suatu saat, saat ia terpisah beribu-ribu mil dari gadis itu, Arya tersadar bahwa ia mencintai Mara. Sering kali Arya merindukan canda tawa gadis itu. Arya selalu menunggu masa-masa liburan agar dapat pulang ke Indonesia dan bertemu dengan Mara. Namun, beberapa kali Arya pulang, tak sekalipun ia bertemu dengan Mara. Ia pun malu menanyakan kabar Mara kepada Ratih.
Dan akhirnya, setelah sekian lama, ia bertemu dengan gadis itu kembali. Banyak sekali yang berubah dari Mara. Gadis itu tampak lebih dewasa dalam perkataan maupun tindakannya. Tak ada lagi Mara yang cerewet dan sering bermanja-manja minta diperhatikan olehnya. Betapa ingin ia memeluk, mengacak-acak rambut gadis itu, dan mengatakan padanya bahwa ia mempunyai rasa yang sama pada gadis itu. Tapi, itu tak mungkin terjadi. Tampaknya, Mara telah lupa dengan pernyataannya saat itu. Mungkin saja dirinya hanya cinta monyet bagi Mara. Arya meneguk soft drink-nya. Di langit sana, rembulan telah tersembunyi di balik guratan awan. Malam semakin larut. Suasana yang tadi ramai pun lambat-laun menghilang dan tergantikan dengan suara jangkrik yang bersahutan. Tiba-tiba sebuah tangan memegang pundaknya. Arya menoleh ke samping dan mendapati ibunya berdiri di sisinya.
“Mama senang sekali mendapat kado terindah dari Ratih. Tapi, Mama akan lebih bahagia kalau anak laki-laki Mama ini cepat-cepat juga melepas masa lajangnya. Apalagi yang kamu tunggu, Nak? Umur sudah lebih dari cukup, pekerjaan sudah ada dan mapan,” kata sang ibu sambil menatap anak sulungnya itu.
“Tenang Ma. Arya juga tidak mau jadi bujang lapuk. Memangnya mama mau menantu yang seperti apa?” Katanya sambil memeluk sang ibu dengan tangan kanannya.
“Terserah kamu saja. Yang penting satu iman. Hmm… tapi, Ar, kalau bisa yang seperti Mara ya,”
Arya terdiam seketika. Yang terdengar hanya suara jangkrik dan kodok yang bersahut-sahutan.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang