Monday 22 August 2016

Kita Ini Apa

Kita ini apa sih? 
Itu tanyamu dulu. Saya sendiri tidak mengerti kita ini apa. Dan saya tidak ingin terjebak dalam dunia yang abu-abu. Terjebak dalam masyarakat yang seolah-olah berlomba menyatakan diri mereka paling baik dan saleh daripada manusia lainnya. Agama tidak ada esensinya. Hanya digunakan untuk saling mencelakai, membenarkan diri sendiri, bahkan dipakai untuk promosi. Miris. Ah sudahlah! Lupakan masalah dunia yang abu-abu itu. Saat ini saya tidak ingin ikut serta nyinyir. Saya hanya ingin bercerita tentang kita. Kita yang dulu terjebak dalam pertanyaan 'kita ini apa sih?' Pertanyaan ini sering kita diskusikan hingga akhirnya memunculkan kesimpulan. Tidak usah kita namai hubungan ini. Itu katamu. Saya pun setuju. Mungkin kita juga abu-abu. Ya. Abu-abu yang tersembunyi di kisi-kisi perdebatan masyarakat yang merasa golongan mereka paling benar. Hubungan ini abu-abu. Entah itu pacaran atau kenalan (baca; Ta'aruf).

Dibilang pacaran, sekalipun kamu tidak pernah mendeklarasikan pertanyaan 'Mau nggak jadi pacar saya'. Kamu hanya bilang 'saya punya niat menikah dengan kamu. Bisakah saya mengenal kamu lebih dekat'. Padahal kamu tahu dan merasakan aksi jutek tidak ramah saya tiga tahun lamanya. Dan saya hanya menjawab 'Ya. Mari kita jalani' karena sejujurnya (dulu) saya belum punya rasa. Awal pertemuan kita pun hanya papasan di tangga dan saya tidak menyadari kehadiran kamu kala itu. Kamu yang akhirnya mengaku pernah melihat saya yang sedang tertawa-tawa bersama adik semata wayang saya. Kita jarang bertatap muka. Bisa dihitung jari berapa kali frekuensi berjumpa. Setelah Jogjakarta, kita berjumpa di rumah orang tua saya. Saya membiarkanmu berkenalan dan mengobrol panjang lebar dengan keluarga saya, sedangkan saya asyik mengaduk adonan atau mencetak kue kering dagangan saya. Oh ya, kala itu saya beserta adik dan teman-teman yang membantu bisnis kue kering juga berkunjung ke rumah paman kamu yang sudah bersedia 'menampung' kamu berteduh selama kamu meninggalkan rumah di kampung. Saat itu, kita mendengarkan petuah paman kamu yang punya obsesi jadi militer negara. Itu saja. Setelah itu, kita terpisah oleh jarak dan waktu. Kamu di pulau Sumatera dan saya kembali ke pulau Jawa. Kita berkomunikasi kembali via dunia maya.

Dibilang kenalan (baca: Ta'aruf), sepertinya juga tidak. Beberapa kali kita pergi hanya berdua saja, di malam hari pula. Karena di siang hari kita harus menjalani rutinitas kita. Kamu menjajakan dagangan dan saya menulis tugas akhir program pascasarjana saya. Saya ingat kita keliling kota. Kadang tanpa tujuan yang berakhir dengan ngobrol panjang di Mall yang menyediakan banyak bangku dan mushala nyaman atau main di beringin alun-alun kota yang terkenal di kalangan wisatawan lokal dan mancanegara. Selama kebersamaan singkat itu, kamu sabar mendengarkan cerita dan keluh kesah saya. Kamu berusaha menghibur saya yang berduka. Akhirnya Tuhan mengambil Mama dari sisi saya, kita pun terpisah dan dipertemukan lagi di pulau Sumatra. Seperti dulu, perjumpaan kita hanya sebentar saja. Dua kali kita jalan berdua tanpa adik saya dan 'antek-anteknya'nya. Kita mengobrol di tengah-tengah keributan anak gaul kota yang memenuhi ruangan restoran siap saji. Kita mulai membicarakan bagaimana langkah selanjutnya untuk pernikahan kita. Mau tidak mau, kita harus realistis. Bagi kita, pernikahan bukan sekedar menghalalkan sesuatu yang haram dilakukan sebelum menikah dan kita menganut kepercayaan jika rezeki itu harus dicari bukan dinanti dengan doa semata tanpa usaha berarti. Setelah itu, kita terpisah jarak kembali hingga saat ini. Kamu pun bekerja dan berusaha mengumpulkan pundi-pundi untuk masa depan kita. Saya pun begitu, jualan untuk mengumpulkan pundi-pundi juga sambil menunggu hari wisuda yang rasanya masih lama. Kemudian berencana mengadu nasib dalam dunia akademisi yang sudah lama saya damba.

Itulah kita. Kita tidak mau repot lagi memikirkan kita ini apa. Apalagi memikirkan ini pacaran, kenalan (baca: Ta'aruf), atau istilah yang lagi ngetrend gegara buku anaknya Adi Bing Slamet, 'temenan'. Yang pasti, kita punya komitmen untuk melangkah ke jenjang pernikahan beberapa bulan ke depan. Saya juga tidak tahu hubungan kita ini berdosa atau tidak. Hanya Tuhan yang berhak dalam urusan perdosaan. Wallahu a'lam. Tulisan ini tidak dimaksudkan bahwa saya kontra terhadap sistem kenalan (baca: Ta'aruf) dan pro terhadap sistem Pacaran. Sekalipun tidak. Saya hanya tidak ingin menjadi anggota abu-abu yang hanya taqlid saja. Bagi saya, agama itu lebih agung dan lebih tinggi daripada hanya digunakan untuk memproklamirkan bahwa kita lebih saleh daripada manusia lainnya. Itu saja. Semua saya serahkan dan pasrahkan kepada Tuhan dan segala kebesaran-Nya. Termasuk menyerahkan rencana besar kita. Semoga Tuhan semakin mempermudah langkah-langkah kita ini. Menikah, mendidik dan membesarkan anak-anak, menua, berpisah oleh maut, dan kemudian dipertemukan kembali di tempat yang paling indah. Aamiin Ya Rabbal Alamin.


0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang