Sunday 29 December 2013

Pakistan

Pakistan dalam tulisan ini bukan sebuah negara yang selalu bersaing dengan tetangga serumpunnya, yang tak lain adalah India. Pakistan ini adalah sebuah gedung asrama di pesantren saya. Bisa dibilang, gedung ini adalah saksi bisu masa puberitas alias masa nakal-nakalnya. Masa ingin sekali merasakan kebebasan. Tentu saja masa puberitas ini berbeda dengan remaja pada umumnya. Jika anak SMP biasa mungkin akan mulai mengenal teman lelaki alias pacaran, maka anak pesantren, pada fase tersebut, suka bikin pusing pengurus asrama bahkan para guru. Sering bikin onar dan rusuh. Intinya ingin bebas dari segala peraturan. Dan tentu saja caranya dengan melanggar peraturan yang ada. Termasuk saya dan teman-teman seangkatan saya dulu yang tentu saja tinggal di gedung Pakistan. Beberapa yang saya ingat ada Encok, Wiwid, Quyen, Irma, Mbek, Petir, Yuliatul, Hanros, Alea, Nopeng, Icha, dan Chinonk. Kami kompak banget. Saking kompaknya, kami bikin rok dengan motif yang sama meskipun ada larangan tidak boleh membuat pakaian yang sama dengan sengaja. Akhirnya, jika tanpa sengaja kami memakai rok tersebut berbarengan, kami akan pergi berpencar agar tidak ketahuan kakak bagian keamanan yang super duper galak.

Banyak banget kenangan-kenangan tentang 'onar' kami tertinggal di gedung itu, bahkan 'onar' yang  saya ciptakan sendiri. Di pesantren itu, ada satu hukuman yang kayaknya horor banget, yaitu pakai khimar (kerudung) yang warnanya mencolok dan bahannya macam kain spanduk. Bisa dibilang hukuman ini adalah hukuman terpedih kedua setelah hukuman 'dipulangkan selama-lamanya'. Jika melanggar peraturan bagian bahasa, maka akan dapat jatah kerudung warna kuning partai Golkar. Jika melanggar tata tertib keamanan, maka akan diganjar dengan kerudung hijau mentereng stabillo. Finally, suatu hari saya keceplosan berbicara pakai bahasa gaul Indonesia di depan ustadzah bagian bahasa. Ya sudahlah, seminggu saya pakai kerudung kuning partai Golkar itu plus gak makan siang dan gak makan malam karena dipajang di depan mesjid dan di depan dapur ditonton khalayak ramai sambil nenteng papan bertuliskan "Saya adalah pelanggar peraturan bagian bahasa. Jangan ikuti saya" (kira-kira begitu tulisannya). Bukan saya saja, hal ini juga terjadi pada teman-teman saya. Kalau sudah ada yang kena, jadilah gedung itu terlihat mentereng dengan warna kuning bahkan, terkadang, hijau stabillo. Dan sayangnya ini sering terjadi di Pakistan.

Pernah juga satu pagi di hari di hari Jumat yang damai, anak-anak lagi asyik-asyiknya tidur. Tiba-tiba seorang kakak bagian keamanan datang dan langsung teriak-teriak menyuruh kami berkumpul di depan mesjid untuk menonton sebuah acara. Mungkin masih setengah sadar plus kaget karena diteriaki,  si Alea bangun dan langsung melesat keluar kamar. Tanpa pikir panjang, dia langsung pakai sendal yang ada dan ngeloyor pergi. Dan usut punya usut, sendal tersebut adalah sendal kakak bagian keamanan yang tadi teriak-teriak. Pas si kakak itu sadar sendalnya hilang, wajahnya gugup dan teriak-teriak lagi "aina na'lii... aina na'lii"(mana sendalku... mana sendalku). Walhasil kami semua ngacir sok tidak tahu menahu dan tertawa terpingkal-pingkal saat tiba di depan mesjid. 

Kadang-kadang kami juga bikin rusuh kakak-kakak kelas kami yang tinggal di gedung Koordinator Gerakan Pramuka. Pasalnya mereka suka menyetrika baju di malam hari. Padahal ada peraturan dilarang menyetrika malam-malam. Akhirnya, setiap ada yang sedang ngipasin setrika arang, kami akan teriak-teriak menyindir mereka *Haduh gak sopan banget deh. Walau kami senang menyindir mereka, namun kami adalah anak-anak yang suka ikut kegiatan Pramuka *sekedar info.

Selain kenakalan-kenakalan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, kami juga punya hobi, yaitu bikin nutrijell. Berhubung tidak diperbolehkan masak di asrama. Akhrinya kami membuat nutrijell dengan air panas yang sudah tersedia. Setelah mengaduk dengan sendok, ehm dan terkadang dengan gantungan baju, kami menyangkutkan wadah-wadah nutrijell itu di pohon sambil berharap lebih cepat membeku daripada hanya didiamkan di kamar. Jadilah malam-malam kami masih duduk di depan asrama menunggu nutrijell. Terkadang kalau lagi apes, bagian keamanan datang dan teriak-teriak menyuruh kami masuk. Dan karena dasarnya badung, setelah si kakak pergi, kami keluar kamar lagi dan tentu saja pesta nutrijell.

Sebenarnya masih banyak lagi keajadian ajaib terjadi di sana. Dan gak bakalan cukup ditulis dalam posting kali ini. Pokoknya semua memori di gedung Pakistan tidak akan pernah terlupakan. Unforgetable moment. Semoga jika kelak saya punya anak, dia ingin pula masuk pesantren dan mencicipi asam garam hidup di sana *kalau dia mau lho. Gak masa sih.

0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang