Saturday 13 April 2019

Zona

Tak terasa sudah tahun ketiga saya meninggalkan Yogyakarta. Rasanya masih tampak nyata hari-hari terakhir di sana. November 2016, Saya mulai mengosongkan kamar kos saya. Saya mulai mengepak barang-barang paling berharga kesayangan saya, yaitu yang tak lain dan tak bukan adalah buku. Hehehe. Masih segar juga dalam ingatan, saya dan beberapa teman kos saling bahu membahu membawa kardus-kardus raksasa berisi buku-buku itu naik ke jalan yang bisa dimasuki mobil cargo. Maklumlah, saya kos di daerah Gowongan dekat pinggiran Kali Code dengan gang-gang sempit dan jalan menurun yang lumayan curam.

Selain mengirimkan barang-barang, saya juga memuaskan diri saya untuk makan makanan yang mungkin tidak akan saya temukan di kota saya nanti. Bukan makanan dari restoran mahal, hanya makanan mahasiswa biasa. Angkringan Kuningan, Ayam tulang lunak Mbak Reti, Warung Prasojo, Warung Mbak Wik, Warung Bu Ari, macam-macam soto, geprek, dan masih banyak lagi. Ahh.. kan jadi lapar. Hehe.

Dan hari itu pun tiba. Dengan berat hati, saya meninggalkan Yogyakarta. Air mata sedih yang sudah ditahan berhari-hari pun akhirnya menetes juga. Diawali dari salam perpisahan dengan Chiul, teman satu kos saya, kemudian berlanjut di bandara dengan teman-teman gang PARAMS (saya akan menceritakan ini nanti ya), teman-teman KTT, dan sahabat-sahabat saya lainnya. Rasanya gimana? Berat. Berat sekali rasanya langkah saya masuk ke dalam area Check in bandara. Sesak. Sesak dada saya menahan rasa sedih. Ya Tuhan... seakan-akan saya kehilangan separuh jiwa saya. Zona nyaman saya. 

Dan kini... saya berada dalam zona tak nyaman saya. Tak terasa. Sudah tiga tahun lamanya. Berat? Tentu saja berat. Harus beradaptasi lagi dengan budaya berbeda. Saya yang terbiasa bergaul dengan kesederhanaan, sekarang harus berhadapan dengan hal sebaliknya. Saya yang terbiasa dengan lingkungan yang "bodo amat", sekarang harus berhadapan dengan lingkungan yang selalu kepo. Saya yang biasanya dimanjakan oleh fasilitas lengkap perpustakaan dan toko buku, di sini harus bengong dan nrimo melihat perpustakaan dan toko buku yang seadanya. Dan tentu saja di sini saya merasa lebih susah menemukan teman-teman sefrekuensi. Ada, tapi tidak banyak. Di tempat kerja pun, saya honorer yang paling junior. Di tambah lagi lingkungan kampus yang jelas jauuuh berbeda dengan tempat saya belajar dulu. Sedih dengan keadaan ini? Ya tentu. Saya akui itu. Sedih bukan kepalang. Kadang saya nangis. Rasanya saya gak kuat untuk meninggalkan zona nyaman saya. 

Tapi... di zona tak nyaman inilah, saya belajar banyak. Saya belajar bagaimana survive dengan lingkungan yang sangat berbeda walau sampai saat ini ya masih belajar dan sesekali berderai air mata juga. Hahahaha. Di lingkungan kerja, saya juga belajar memahami karakter dosen-dosen senior dan mahasiswanya. Di zona tak nyaman inilah saya juga mendapatkan berbagai pengalaman berharga. Pengalaman mengajar dengan lingkungan dan karakter yang berbeda. Pengalaman diikutsertakan dalam pertemuan Dosen Adab dan Humaniora seIndonesia plus mempresentasikan salah satu tulisan ilmiah saya. Pengalaman ikut kuliah umum Pak Suwardi Endraswara walau cuma gantiin dekan dan dosen-dosen lain yang gak bisa datang. Pengalaman bantuin anak-anak nyiapin pentas drama walau cuma ya kerjaannya sebatas lihat-lihat aja. Pengalaman jadi pembicara seminar, nulis jurnal, dan jadi moderator kuliah umumnya Pak Sukron Kamil. Daaan masih banyak lagi. Memang betul sih kalau zona nyaman itu adalah tempat yang sangat indah. Namun, kita tidak akan berkembang di dalamnya. Sooo, get out to find your uncomfort zone Beibh!




0 komentar:

Post a Comment

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang