Saturday 16 June 2012

How Lucky I'am!


Kata orang-orang, aku adalah seorang anak yang tidak seberuntung anak-anak lain. Kata mereka, aku adalah anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang orangtua karena aku sudah merasakan perpisahan sejak aku masih balita. Saat itu mama sedang mengajar di Lampung, sedangkan papa masih sekolah di BPN Yogyakarta. Karena beliau berdua terpisah oleh selat Sunda, maka diputuskanlah menitipkanku di Bekasi, tepat di tengah-tengah keberadaan beliau berdua. Setelah semuanya stabil (papa dan mama sudah bekerja di Padang), akhirnya kami bertiga berkumpul kembali. Namun, setelah tamat sekolah dasar, aku memutuskan untuk belajar di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur. Bayangkan! Seorang anak tamatan SD pergi merantau dan mencoba hidup mandiri di seberang pulau tempatnya tinggal.

Setelah masuk pondok pesantren pun, orang-orang masih mengatakan bahwa aku tidak beruntung karena selama enam tahun kuhabiskan hidupku di pondok pesantren, orangtuaku hanya mengunjungiku tiga kali saja. Bahkan ketika aku yudisium (semacam acara kelulusan), kedua orangtuaku tidak bisa hadir. Aku pribadi sih maklum saja. Karena rumah kami yang jauh di pulau Sumatra yang membutuhkan uang dan waktu yang lebih banyak untuk mencapai pondok pesantren. Setelah lulus dari pondok pesantren, aku langsung terbang ke sebuah desa yang bernama Lamomea di SULTRA untuk mengabdikan diri mengajar para santri. 

Setelah selesai mengabdi, akhirnya aku pulang ke rumah dan mempersiapkan perjalanan hidupku selanjutnya, yaitu kuliah. Karena terbiasa mengerjakan segala sesuatu sendiri, aku mencari informasi tentang ujian masuk PTN tanpa bantuan dari orangtua. Karena aku rasa, aku cukup dewasa untuk menetukankan tempat kuliahku kelak. Aku membuat banyak planning. Mungkin dari A sampai Z. Akhirnya disinilah sampan kecilku berlabuh, UGM. Setelah lulus, aku berangkat berdua dengan temanku ke Yogyakarta untuk mengurus daftar ulang dan segala sesuatunya. Lagi-lagi kulakukan sendiri tanpa bantuan orangtua, kecuali bantuan dana hehe. 

Setelah kuliah, masih banyak orang yang bilang bahwa aku anak yang tidak beruntung karena uang jajanku yang di bawah rata-rata teman-teman atau saudara-saudaraku yang lain. Aku sendiri tidak pernah ambil pusing soal ini. Berapapun yang diberikan orangtua sebisa mungkin selalu aku syukuri. Setidaknya orantuaku masih mampu membiayaiku. Itu saja, aku sudah bersyukur. Pernah satu hari ada yang menanyakanku tentang uang bulananku. "Emang segitu cukup, Mbak?" Katanya kaget. Aku hanya bisa senyam-senyum dan berkata, "Ya... dicukup-cukupkanlah". Mungkin dalam hatinya, dia juga berpendapat sama dengan yang lain bahwa aku adalah seorang anak yang tidak beruntung.

Namun kurasa pendapat mereka salah. malah aku merasa aku adalah anak paling beruntung di dunia ini. Atau mungkin sama beruntungnya dengan anak-anak lain di muka bumi. Yang berbeda hanya caranya saja. Jika mereka beruntung karena dilimpahi kasih sayang berupa perhatian dan materi di atas rata-rata, sedangkan kasih sayang orangtuaku berupa pelajaran hidup yang langsung aku praktekkan dalam perjalanan hidupku. Mungkin agar aku tidak kaget dan shock jika kelak aku harus menjalani kehidupanku sendiri. Setidaknya aku belajar mandiri dalam mengerjakan semua tugas, belajar bersyukur bahwa aku masih jauh beruntung dari mereka yang tidur di bawah jembatan layang, aku belajar untuk tidak mengeluh, dan belajar untuk merasakan bagaimana susahnya mencari uang agar aku lebih menghargai apa yang kudapatkan. Apapu kata orang, aku tak kan percayai  itu. Yang aku tahu, betapa aku sangat beruntung!

1 komentar:

 

Sate Padang Template by Ipietoon Cute Blog Design and Bukit Gambang